Wiranto Menolak Disebut Kembali ke Orde Baru, Ini Alasannya
Reporter
Dewi Nurita
Editor
Dwi Arjanto
Rabu, 8 Mei 2019 03:06 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto menolak disebut kembali ke orde baru.
Kritik tersebut baru-baru ini dilontarkan kepada Wiranto akibat pernyataannya yang akan menutup media jika melakukan pelanggaran hukum.
Baca : Wiranto Ralat Pernyataan: Bukan Bikin Tim Hukum Nasional, tapi Tim Bantuan Hukum
Wiranto meluruskan bahwa yang akan ditutup bukan media massa melainkan akun-akun media sosial yang melakukan ujaran kebencian, menghasut, radikalisme, dan sebagainya.
"Ada yang mengatakan Pak Wiranto kembali ke Orde Baru, bukan. Saya katakan itu, kalau ada akun medsos berisi ujaran kebencian, cemoohan, fitnah, bahkan ajakan-ajakan untuk memberontak, masak kita biarkan? Ini yang kemudian saya katakana, pemerintah tidak akan segan menutup akun-akun yang tidak jelas juntrungannya itu, men-take down dan sudah kita laksanakan," ujar Wiranto lewat keterangan tertulis pada Selasa, 7 Mei 2019.
Wiranto menyebut, sebelumnya sudah ada kurang lebih puluhan juta akun yang tumbuh di Indonesia dan diantara puluhan juta akun itu kira-kira sudah 700 ribu akun yang di take-down oleh Kemenko Polhukam karena mengandung ujaran kebencian, mengandung radikalisme, pornografi, hasutan-hasutan dan sebagainya. Namun sayangnya, tindakan yang dilakukan pemerintah itu dinilai belum menimbulkan efek jera.
“Oleh karena itu, pemerintah akan lebih tegas lagi men-take down medsos yang nyata-nyata sudah menghasut, melanggar hukum dan sebagainya, sehingga jangan dicampuradukkan oleh media cetak. Kalau media cetak ada aturanya, ada dewan pers yang akan menegur. Tentu jangan kita sama ratakan,” ujar Wiranto.
Baca juga : Wiranto Bentuk Tim Hukum Nasional, Sandiaga: Kurang Kerjaan
Wiranto pertama kali menyebut pemerintah akan lebih tegas menindak akun-akun media sosial itu sebelum Rakortas membahas permasalahan setelah pemungutan suara Pemilu 2019 yang digelar pada Senin, 6 Mei 2019.
<!--more-->
"Media mana yang nyata-nyata membantu melakukan pelanggaran hukum, kalau perlu kita shutdown, kita hentikan. Kita tutup demi keamanan nasional," ujar Wiranto. Dalam pernyataannya itu, Wiranto tidak menyebut media sosial, melainkan media.
Pernyataan itu kemudian menuai kritik. Dewan Pers meminta Wiranto mengklarifikasi pernyataannya tersebut, apakah menyangkut media pers atau media sosial. "Karena saat itu Pak Wiranto kan bicara dalam konteks medsos juga," kata Anggota Dewan Pers, Ratna Komala saat dihubungi Tempo pada Selasa, 7 Mei 2019.
Menurut Ratna, jika yang dimaksud adalah media pers, maka sangat bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. "Artinya kalau media pers bisa ditutup, dibredel, kita kembali ke zaman orde baru dong. Di mana pers bisa disensor dan diintervensi," ujar Ratna.
Sementara, kata dia, kebebasan pers telah dijamin oleh undang-undang. Jika penyensoran terhadap pers dilakukan, maka reformasi kembali ke belakang. Ratna menuturkan Indonesia sudah terbebas dari rezim yang otoriter di mana media bisa dibredel.
Simak pula :
Wiranto Ancam Tutup Media, Dosen UGM: Cermin Paranoid
Ratna menegaskan, berbagai perkara berkaitan media pers, juga tidak bisa diintervensi pemerintah. Musababnya, ada mekanisme yang telah diatur undang-undang melalui Dewan Pers.
"Aturannya jelas, Dewan Pers dan komunitas pers mengatur dirinya sendiri, meregulasi dirinya sendiri, membuat peraturan yang dibutuhkan terkait kebebasan berpendapat. Sekali lagi, Pak Wiranto harus mengklarifikasi. Enggak bisa main tutup kalau untuk pers," ujar Ratna.