Pimpinan KPK Sebut Gratifikasi Seks Harusnya Bisa Dijerat Pidana
Reporter
M Rosseno Aji
Editor
Rina Widiastuti
Kamis, 31 Januari 2019 10:46 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Alexander Marwata mengatakan gratifikasi seks seharusnnya bisa dijerat dengan pidana. Terlebih bila dalam pemberian itu terdapat unsur menyalahgunakan wewenang, pemberian izin dan lain sebagainya.
Baca juga: Mahfud: Gratifikasi Seks Lebih Dahsyat daripada Uang
“Kalau di beberapa negara memang sudah masuk pemberian gratifikasi, saya pikir itu kan pemberian hadiah juga, yang membiayai orang lain,” kata Alex di kantornya, Jakarta, Rabu, 30 Januari 2019.
Alex menuturkan dalam gratifikasi seks, pemberi mengeluarkan uang untuk membiayai layanan seks bagi penerima gratifikasi. Dia mengatakan nilai gratifikasi seks dapat diukur dari besaran biaya yang dikeluarkan oleh pemberi gratifikasi kepada penyedia jasa prostitusi. “Mestinya bisa dijerat sebagai gratifikasi, apalagi bila dalam pemberian itu ada sesuatu yang diberikan oleh penerima,” katanya.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah diatur bahwa gratifikasi didefinisikan bukan pemberian uang atau barang secara langsung. Dalam UU tersebut yang dimaksud gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya.
Baca: Gratifikasi Seks Menjadi Pelengkap Suap
Undang-Undang Tipikor menyebut gratifikasi tersebut bisa diterima baik di dalam maupun luar negeri, dan dilakukan dengan sarana elektronik maupun non-elektronik.
Dugaan pemberian gratifikasi seks pernah mencuat dalam beberapa kasus yang ditangani KPK, misalnya kasus suap hakim Pengadilan Tipikor Bandung, Setyabudi Tejocahyono yang mencuat medio 2013 silam. Tejo diduga tak hanya menerima uang suap, tapi juga gratifikasi seks dari pengusaha Toto Hutagalung. Pemberian itu berkaitan dengan kasus korupsi dana bantuan sosial yang sedang diadili di pengadilan Tipikor Bandung. Dalam kasus itu, Setyabudi telah divonis 12 tahun penjara.