JK: Ketidakadilan Jadi Penyebab Konflik
Reporter
Ahmad Faiz Ibnu Sani
Editor
Iqbal Muhtarom
Minggu, 29 Oktober 2017 19:47 WIB
TEMPO.CO, Jombang - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan konflik yang terjadi di pelbagai belahan dunia bukan disebabkan oleh perbedaan agama. Menurut dia, penyebab utamanya adalah ketidakadilan yang dialami masyarakat.
Hal itu ia sampaikan saat berbicara di hadapan ratusan pemuda dari pelbagai negara dalam acara ASEAN Youth Interfaith Camp 2017 di Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum (Unipdu), Jombang, Jawa Timur.
JK tidak memungkiri bila pada beberapa negara di ASEAN, termasuk Indonesia, pernah mengalami konflik dalam masyarakatnya. Selama 70 tahun Indonesia merdeka, kata dia, setidaknya pernah terjadi sepuluh konflik besar yang sebenarnya disebabkan ketidakadilan tapi disebut konflik agama.
Baca juga: Jusuf Kalla: Indonesia Bisa Jadi Contoh Negara Toleran di Dunia
"Agama hanya pendorongnya. Apabila agama masuk dalam konflik maka tidak ada yang netral," katanya di Unipdu, Jombang, Jawa Timur, Minggu, 29 Oktober 2017.
Ia berujar konflik di Poso, Ambon, Aceh, pemberontakan DI/TII, Permesta, dan lainnya disebabkan ketidakadilan yang terjadi di daerah-daerah tersebut. "Di Aceh misalnya, mereka merasa kaya tapi tidak makmur," tuturnya.
Menurut JK, untuk mencegah terjadinya konflik antarumat beragama, maka harus ditanamkan rasa toleransi. Sebagai komunitas, ASEAN sebenarnya sudah mampu menunjukkan apa itu toleransi.
Ia menjelaskan, dari sepuluh anggota ASEAN, tiga negara mayoritas penduduknya beragama muslim, satu negara penganut katolik, dan selebihnya kebanyakan beragama Hindu atau Buddha. "Nah sebagai kelompok besar kita dapat bersatu dengan cara itu," kata JK.
Baca juga: JK Beri Arahan Kepada Santri Internasional di Acara AYIC 2017
JK pun memberikan saran bagaimana cara membangun toleransi. Caranya dengan terlebih dahulu saling mengenal satu sama lain.
Ia berkisah saat masih tinggal di Makassar, dia membentuk suatu forum kerukunan umat beragama. Bila hendak melakukan pertemuan, forum akan memilih tempat ibadah masing-masing agama secara bergantian. "Saya waktu itu ketua masjid, tentu menceritakan apa itu Islam kepada uskup-uskup, pendeta, baru mereka paham," tuturnya.
Begitu pula sebaliknya, bila pertemuan tengah berlangsung di sebuah gereja, para pendeta bertugas untuk mengenalkan agama Kristen pada anggota lainnya. "Setelah saling memahami baru respect each other," ujarnya.