TEMPO Interaktif, Jakarta:Kebijakan penarikan senjata dari tangan sipil dianggap tak realistis. Sebab, masyarakat akan resisten, karena sudah mengeluarkan sampai ratusan juta rupiah untuk mendapatkan senjata. "Kalau mau efektif kerugian pemilik senjata harus diganti," kata Sekretaris Fraksi Partai Bintang Reformasi Ade Daud Nasution, ketika dihubungi, Kamis (22/12).Ade menilai kebijakan polisi tak komprehensif, lantaran tak melihat faktor kerugian pemilik serta kemampuan polisi melindungi warga negaranya. Anggota DPR itu memberi contoh dirinya yang harus kena pukul orang tak dikenal di gedung Dewan di Senayan dan tak ada perlindungan segera dari polisi. "Masa anggota lesgilatif bisa dipukul tanpa tindakan kepolisian?" Dia mengaku sudah lama memiliki senjata peluru hampa. "Saya beli dari orang yang punya plus mengurus izinnya seharga Rp 40 juta," kata dia. Meski begitu Ade menilai kebijakan kepolisian dalam soal senjata itu wajar. "Soalnya memang penyalahgunaan senjata dan kejahatan sekarang marak," katanya.Ia menganjurkan polisi mengajukan anggaran tambahan untuk membayar kerugian pemilik. "Nah, ribuan senjata sipil itu dialihfungsikan menjadi senjata organik." Toh, banyak senjata peluru hampa dan karet yang bisa diubah menjadi senjata peluru tajam. Saran ini, katanya, juga untuk membatasi kongkalikong antara polisi dengan pemilik senjata yang punya pengaruh, yang tak mau ditarik senjatanya. Hal senada dikatakan seorang importir senjata. Dari pengalamannya mengurus ijin senjata api, sebagian besar konsumen adalah para pejabat dan bekas pejabat. "Kira-kira 80 persen ya mereka," katanya. Dia menilai, para pejabat maupun bekas pejabat itu tak akan mau melepas senjata yang bisa membela dirinya. Selain karena rugi, mereka pun berisiko karena kemampuan kepolisian untuk melindungi belum memadai. Selain itu, ia melanjutkan, saat ini kepemilikan senjata itu justru menjadi bisnis bagi polisi. "Sebab tak ada biaya resminya," kata dia. Setiap orang yang mau mengurus izin harus memiliki rekomendasi dari tentara atau polisi. Dan mereka harus merogoh kocek untuk bisa lolos proses pengecekan di intelijen polisi maupun Badan Intelijen Strategis dan Badan Intelijen Negara. Dia memberi ilustrasi, pungutan liar dalam kepengurusan bisa mencapai 150 juta rupiah, padahal harga senjata genggam paling mahal US$ 3000 atau tak sampai 30 juta rupiah. "Itupun yang paling mahal," kata dia. Di tiap pintu kepengurusan mulai dari intelijen polda sampai impor dari Singapura memiliki harga tersendiri. "Tapi sejak Jenderal Sutanto menjabat sebagai Kapolri," kata dia, "sudah tak ada lagi ijin baru." Dan itu sudah cukup membatasi ruang bisnis mereka.Yophiandi
Bamsoet: Perikhsa Siap Gelar 'Deffensive Shooting' pada Juli
9 hari lalu
Bamsoet: Perikhsa Siap Gelar 'Deffensive Shooting' pada Juli
Sebelum lomba digelar, peserta akan dibekali pengetahuan tentang teknik menembak, teknik bergerak, hingga teknik mengisi ulang peluru (reload magazine).