Pengusaha Korban Lumpur Lapindo Masih Inginkan Ganti Rugi
Editor
Budi Riza
Minggu, 29 Mei 2016 15:22 WIB
TEMPO.CO, Sidoarjo - Andi Susila, 50 tahun, seorang pengusaha yang menjadi korban lumpur Lapindo, mengaku masih berharap mendapat ganti rugi atas perusahaan mebel miliknya, yang telah lenyap karena semburan lumpur. Ganti rugi itu diharapkan bisa mengurangi penderitaan hidupnya selama 10 tahun terakhir.
"Berharap penderitaan kami tidak berlarut-larut," kata Andi, yang kini bekerja sebagai kepala produksi pabrik rotan PT Cahaya Sejati, kepada Tempo, Ahad, 29 Mei 2019. Andi berharap ganti rugi pabriknya dibayar menggunakan dana talangan dari pemerintah sebagaimana dana ganti rugi yang diterima warga korban lumpur.
Menurut dia, pemberian ganti rugi oleh PT Minarak Lapindo Jaya dengan skema business to business tidak sesuai dengan harapan pengusaha. Andi bersama pengusaha lainnya juga telah ikut andil dalam mengegolkan pemberian dana talangan kepada warga saat menggugat di Mahkamah Konstitusi.
Sebelum tragedi semburan lumpur Lapindo, Andi dikenal sebagai pengusaha mebel PT Yama Indo Perkasa, yang menjual mebel berkualitas ekspor. Jumlah karyawannya mencapai sekitar 160 orang. Setiap bulan, pabriknya mampu mengekspor beragam mebel, yang dimuat dalam sekitar 30 kontainer ke Jepang dengan nilai miliaran rupiah.
Namun tragedi semburan lumpur Lapindo, yang terjadi pada 29 Mei 2006, membalik perjalanan hidup dan bisnisnya. Dulu Andi berstatus sebagai pemilik pabrik, sedangkan kini dia sebatas menjadi buruh pabrik, meski dengan status kepala produksi. Penghasilan yang dia peroleh turun drastis.
Sebelum bekerja di pabrik temannya itu, Andi mengaku sempat punya usaha fried chicken dan berjualan beras. Namun kedua usaha itu gulung tikar. Dua rumah dan satu mobil yang digunakan sebagai modal amblas. Andi juga sempat mencicipi pekerjaan sebagai sopir taksi freelance.
Andi mengaku, pada tahun awal-awal semburan, Lapindo telah memberikan sebagian ganti rugi tanah dan aset pabriknya. Dari total Rp 9 miliar, Lapindo hanya mampu membayar Rp 1,2 miliar. "Sebenarnya saya menerima dalam keadaan terpaksa, daripada tidak dibayar sama sekali," kata dia.
NUR HADI