Jumlah Buruh di Kota Malang yang Kena PHK Melonjak Drastis
Editor
Abdul Djalil Hakim.
Senin, 11 Januari 2016 12:42 WIB
TEMPO.CO, Malang - Jumlah buruh di Kota Malang, Jawa Timur, yang kena pemutusan hubungan kerja (PHK) melonjak drastis. Menurut Kepala Bidang Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja Kota Malang, Kasiadi, selama 2015 sekitar 2.000 buruh yang terkena PHK. Sedangkan pada 2014 hanya 60 orang.
Dari jumlah buruh yang terkena PHK, kata Kasiadi, sekitar 600 orang di antaranya tergolong beusia produktif. Adapun perusahaan yang paling banyak melakukan PHK adalah di bidang industri rokok.
Sejumlah pabrik rokok kecil, menengah dan besar di Malang mengurangi jumlah buruhnya, karena secara bisnis, rokok kretek terus merosot. “Buruh yang diPHK rata-rata telah bekerja 15 tahun sampai 30 tahun,” kata Kasiadi, Senin, 11 Januari 2016.
Kasiadi menjelaskan, proses PHK sudah sesuai prosedur dan tidak membutuhkan mediasi untuk menyelesaikan sengketa perburuhan. Para buruh yang diPHK mendapat hak normatif sesuai peraturan, seperti pesangon untuk modal usahanya.
Dinas Tenaga Kerja Kota Malang juga membuka komunikasi dengan para buruh korban PHK. Mereka dicarikan peluang kerja di tempat lain yang sesuai dengan komptensinya. Selain itu juga diberikan kesempatan mengikuti pelatihan ketrampilan sebagai bekal berwirausaha.
Dinas Tenaga Kerja Kota Malang mencatat jumlah pekerja pada awal 2016 ini sebanyak 53 ribu orang. Mereka tersebar di 940 perusahaan. Jumlah itu menurun dari dibandingkan pada 2015 yang mencapai 56 ribu orang. Selain karena terjadi PHK, juga ada yang telah memasuki masa pensiun. “Tidak semua buruh yang diPHK yang dilaporkan ke Dinas Tenaga Kerja,” ujar Kasiadi.
Sekretaris Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kabupaten Malang, Samuel Molindo, menjelaskan puluhan perusahaan terpukul akibat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. "Industri lesu, terjadi efisiensi besar-besaran," ucapnya.
Samuel menjelaskan, yang mengalami kelesuan terutama industri pengolah plastik, alas kaki dan penyamakan kulit, karena menggunakan bahan baku impor. Sedang produksinya untuk memenuhi pasar dalam negeri. Namun, untuk menjaga kebutuhan pelanggan, industri tetap menjaga produksi. “Minimal bisa memenuhi separuh dari kebutuhan pasar,” tuturnya.
Dia mengatakan, kerugian industri berbahan dasar biji plastik berlipat karena harga barang berupa produksi plastik terus menurun. Padahal sebagian perusahaan besar telah memesan bahan baku plastik lebih dulu dengan harga yang masih mahal. Solusi yang ditempuh, antara lain, mengurangi biji plastik dalam campuran bahan baku produksi, meski kualitas menjadi menurun.
Langkah efisiensi lain yang ditempuh, kata Samuel, mengurangi alur kerja, membatasi jam lembur, serta memutus hubungan kerja dengan buruh kontrak. Perusahaan hanya mempertahankan pekerja yang berstatus karyawan. “Jika sampai akhir tahun perekonomian tak segera membaik, dikhawatirkan akan mengancam kinerja perusahaan,” ujar dia.
EKO WIDIANTO