Para Eksil Tragedi 1965 Rayakan HUT RI ke-70 di Belanda
Editor
Maria Rita Hasugian
Senin, 17 Agustus 2015 10:25 WIB
TEMPO.CO, Amsterdam - Lebih dari seratus warga Indonesia memenuhi gedung De Schakel, Amsterdam. Sebagian besar sudah berusia lanjut. Namun mereka masih sehat dan terlihat segar. Pada Minggu, 16 Agustus 2015, mereka berkumpul memenuhi undangan Perhimpunan Persaudaraan untuk mengikuti peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-70. Kebanyakan dari tamu yang datang adalah para eksil, yaitu warga Indonesia yang tak boleh pulang ke negaranya karena kondisi politik setelah kemerdekaan.
Acara dimulai tepat pada pukul 11.25 waktu Amsterdam. Acara dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Semua orang yang hadir berdiri dengan sikap tegap. Mereka menyanyikan lagu itu dengan suara penuh semangat. Suara organ yang mengiringi lagu malah hampir tak terdengar. Setelah jeda beberapa saat, gema suara rekaman suara Soekarno membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia berkumandang. Suasana menjadi hening. Beberapa tampak memejamkan mata dan menundukkan kepala. Sebagian lagi menatap ke arah depan dengan tatapan mata berkaca-kaca. Semua orang yang hadir diam tak bergeming. Mereka menghayati satu persatu ucapan dalam teks proklamasi sampai selesai.
Selanjutnya mereka mengheningkan cipta. Tak ada iringan musik atau apa pun. Dengan tetap berdiri semua yang hadir menundukkan kepala penuh khidmat selama 1 menit.
Setelah itu, Ketua Perhimpunan Persaudaraan Sungkono memberikan kata sambutan. Dalam teks enam lembar, ia membacakan, antara lain “kita orang–orang Indonesia yang terhalang pulang yang ada di Belanda, walaupun jauh terpisah dari Tanah Air Indonesia, tetapi tidak terpisah dari bangsa dan rakyat Indonesia. Kita adalah bagian dari bangsa dan rakyat Indonesia, adalah orang-orang Indonesia yang tetap mencintai Tanah Air, bangsa dan rakyat Indonesia, dan senantiasa mempunyai kepedulian terhadap keadaan dan hari depan Indonesia."
Dalam sambutannya, Sungkono juga menyampaikan latar belakang rekayasa penggulingan Soekarno yang dilakukan Soeharto dengan dibungkus skenario G30S/PKI. Peristiwa ini pula yang menyebabkan mereka dan keluarga tidak bisa kembali ke Tanah Air. Dalam situasi Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi, Sungkono mengatakan bahwa ia dan teman-temannya menunggu realisasi dari janji-janji yang pernah disampaikan Presiden Joko Widodo saat blusukan ke masyarakat.
Namun, ujarnya, saat ini rakyat lebih membutuhkan kebijakan dan ketegasan dalam mengurus kepentingan rakyat. Termasuk menuntaskan pelanggaran HAM berat 1965 yang tidak dijamah sama sekali oleh pendahulu Jokowi, Susilo Bambang Yudhoyono.
Menurut Sungkono, acara perayaan seperti ini tidak tiap tahun digelar. Hanya setiap lima tahun karena terkait biaya dan teknis acara.
Acara berlanjut dengan penuh keakraban. Di sela-sela acara menyanyi dan joget bersama diiringi musik, beberapa di antaranya tampak berbincang-bincang santai, tertawa dan penuh guyon. Sempat juga terdengar lagu Genjer-genjer yang dibawakan Suranto Pronowardojo dengan iringan organ. Menurut Chalik Hamid, lagu Genjer-genjer itu kan sebenarnya lagu biasa.
“Lagu ini sangat terkenal di zaman saya dulu. Hanya kemudian dipolitisir dan dijadikan cap seolah-olah itu adalah lagunya PKI,” kata Chalik Hamid. Chalid adalah salah satu eksil yang juga Ketua yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia. Buku kumpulan puisinya berjudul Mawar Merah diterbitkan tahun 2008 di Bandung.
Acara terus berlangsung sampai pukul 16.00 sore. Para tamu beranjak pulang dengan membawa rasa bangga sebagai warga Indonesia. Dalam acara ini, hadir juga perwakilan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia, Raden Usman Effendi, sekretaris utama dan stafnya, Deden.
YUKE MAYARATIH