TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Abdul Kadir Karding, pesimistis revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal bergulir di parlemen. Dia beralasan, Presiden Joko Widodo sudah menyatakan pemerintah menolak merevisi aturan ini. Sesuai Undang-Undang Dasar, pembahasan undang-undang dilakukan Dewan bersama pemerintah.
"Kalau pemerintah tak mau membahas, sampai jungkir balik pun DPR tidak bisa membahas," kata Karding kepada wartawan di kompleks DPR, Jakarta, Rabu, 24 Juni 2015.
Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa itu meminta masyarakat dan media untuk tidak memperpanjang polemik soal revisi UU KPK. Sebab dia khawatir jika polemik berkepanjangan bakal memperkeruh keadaan.
Menurut Karding, polemik revisi UU KPK merupakan permasalahan sensitif. Upaya DPR memasukkan revisi UU KPK ke dalam Program Legislasi Nasional 2015 diartikan negatif oleh berbagai pihak. Pandangan negatif masyarakat tentang upaya DPR untuk mengebiri wewenang KPK menjerat koruptor selalu menjadi isu utama.
Padahal Karding menilai revisi UU KPK bukan untuk mencabut kewenangan komisi antirasuah untuk melakukan penyadapan. Menurut dia, DPR hanya ingin memperketat pengawasan hak penyadapan KPK. Sebab hampir di seluruh negara maju, penyadapan bisa dilakukan setelah mendapat izin dari pengadilan. Kejaksaan dan Polri selama ini mengajukan permohonan izin ke pengadilan sebelum menyadap.
"Ada yang bilang kalau izin pengadilan bakal bocor penyadapannya, itu berarti kita tak percaya dengan pengadilan," kata Karding. "Padahal selama ini penyadapan kejaksaan dan Polri tidak pernah bocor."
Karding pun punya solusi. Menurut dia, DPR dan pemerintah harus sering menjalin komunikasi. Keduanya harus menyepakati poin-poin mana saja dalam UU KPK yang tak boleh dihapus. Sebagai contoh tentang pasal penyadapan KPK. "Jadi biar ada rasa percaya antara kedua pihak," kata dia.
Sebelumnya, DPR akhirnya resmi memasukkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Program Legislasi Nasional 2015. Keputusan ini diambil dalam rapat paripurna DPR, Selasa sore, 23 Juni 2015.
Dalam paripurna itu, mulanya Ketua Badan Legislasi DPR Sareh Wiyono menyampaikan hasil rapat kerja dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pekan lalu. Badan Legislasi menyatakan usulan revisi datang dari pemerintah dalam rapat itu.
Menurut Sareh, pemerintah berkomitmen melakukan perubahan tentang UU KPK, terutama terkait dengan lima hal. Yaitu kewenangan penyadapan agar tidak melanggar HAM, sinergisme penuntutan dengan kejaksaan, pembentukan badan pengawas, aturan tentang pelaksana tugas bila pimpinan berhalangan, dan penguatan aturan kolektif kolegial.