Aksi simpatik siswa-siswi di Bandung untuk Angeline. TEMPO/Dicky Zulfikar Nawazaki
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta regulasi tegas yang menjerat para pelaku kekerasan pada anak menimbulkan efek jera. KPAI berharap seluruh pelaku kekerasan anak, khususnya kejahatan seksual, dijerat sanksi hukuman mati atau seumur hidup.
"Kekerasan seksual itu menyebabkan kerusakan lima organ sekaligus. Sangat pantas dihukum mati," kata Sekretaris Jenderal KPAI Erlinda, Sabtu, 13 Juni 2015.
Hal ini disampaikan terutama merujuk pada kasus pembunuhan Angeline, 8 tahun, oleh mantan pembantu rumah tangga keluarga angkatnya, Agustinus Tae Hamdai, pertengahan Mei lalu. Dalam kasus tersebut, Agus bahkan mengaku telah beberapa kali melakukan kekerasan seksual kepada Angeline.
Asisten Deputi Anak Berhadapan Dengan Hukum Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Ali Khasan menilai regulasi dan sanksi bagi pelaku kekerasan terhadap anak sebenarnya sudah cukup berat. Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, seorang pelaku kekerasan terhadap anak mendapat ancaman penjara maksimal 15 tahun dan denda Rp 3 miliar.
"Jika pelakunya adalah orang dekat, berarti hukumannya ditambah 1/3 persen dari total penjara dan denda," kata Ali.
Menurut dia, Kementerian selalu berusaha melakukan advokasi dan pengawasan peradilan, sehingga pelaku mendapatkan sanksi yang layak. Kementerian juga berdalih telah melakukan sosialisasi secara terus-menerus kepada masyarakat soal perlindungan anak.
Ali mengklaim kekerasan pada anak ibarat gunung es yang hanya terlihat sebagian kecil dari keseluruhan masalah. Sejumlah kasus baru terdeteksi dan ditangani saat telah mencuat di masyarakat dan media. Untuk itu, Kementerian mengambil sikap penguatan unsur masyarakat agar lebih peka terhadap kasus kekerasan pada anak.
Wakil Sekjen Majelis Ulama Indonesia Pusat Amisyah Tambunan juga menyatakan seluruh pelaku harus menerima hukuman yang sepantasnya. Menurut dia, tak hanya hukuman yang harus ditegakkan, tetapi juga semangat anti kekerasan terhadap anak harus mulai dipahami seluruh lapisan masyarakat.
"Kita harus memiliki perhatian yang konsisten dan bertahap untuk menyelesaikan semua masalah kekerasan anak," kata Amisyah.
Berbeda, ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menilai pemerintah dan parlemen tak perlu lagi merancang regulasi baru soal sanksi kekerasan anak. Semakin banyak regulasi justru semakin menunjukan lemah dan bobroknya suatu bangsa.
Reza mempermasalahkan kenapa parlemen dan pemerintah justru sibuk soal regulasi saat kekerasan anak itu butuh penanganan langsung. "Lebih baik perbaiki pengembangan keluarga dan politik anggaran dibanding sibuk dengan soal regulasi baru."