Mantan Direktur Utama PT PLN (Persero), Dahlan Iskan, seusai memenuhi panggilan pemeriksaan di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, 4 Juni 2015. Dahlan diperiksa sebagai saksi terkait dengan kasus dugaan korupsi proyek pengadaan dan pembangunan gardu induk Jawa Bali dan Nusa Tenggara tahun anggaran 2011-2013. TEMPO/Dian Triyuli Handoko
TEMPO.CO,Jakarta - Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Hifdzil Alim, meminta Presiden Joko Widodo membongkar kasus korupsi tanpa menyelipkan kepentingan politik balas dendam terhadap pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono.
Hifdzil menilai penegakan hukum atas kasus korupsi sering dipakai sebagai alat politik bagi pemerintah.
"Jangan sampai korupsi dibongkar karena pemerintah tak menyukai pemerintah sebelumnya, sehingga apa saja dikorek-korek," kata Hifdzil saat dihubungi Tempo, Senin, 8 Juni 2015.
Beberapa menteri Kabinet Indonesia Bersatu, yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono, ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi oleh kepolisian atau kejaksaan.
Sejak pemerintahan Jokowi dimulai, ada dua mantan bawahan SBY yang tersangkut korupsi, yaitu mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denny Indrayana, dan mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara yang juga bekas Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara, Dahlan Iskan.
Markas Besar Kepolisian RI menetapkan Denny sebagai tersangka pada akhir Mei lalu. Ia dituduh bertanggung jawab dalam pengadaan sistempayment gateway alias pembayaran pembuatan paspor elektronik pada 2014.
Sedangkan pekan lalu, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menetapkan Dahlan Iskan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan gardu induk di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara periode 2011-2013.
Hifdzil mengatakan pemerintah harus bisa mendorong penegak hukum agar bertindak profesional dalam memberantas korupsi. Ia khawatir pemberantasan korupsi justru menjadi alat serang elite politik.
"Jika pemberantasan korupsi terbukti hanya menjadi alat politik, masyarakat tak lagi percaya kepada penegak hukum," katanya. "Yang rugi penegak hukum. Masing-masing pihak terkait mengira mereka tak profesional."