Ogah Lapor Harta, KPK Minta Pejabat Daerah Diberi Sanksi
Editor
Dewi Rina Cahyani
Selasa, 19 Mei 2015 16:58 WIB
TEMPO.CO, Bandung - Komisi Pemberantasan Korupsi meminta pemerintah daerah menyiapkan sanksi bagi pejabatnya yang lalai melaporkan Laporan Harta Kekayanaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
“Kalau tidak melapor, tidak patuh akan dikenakan sanksi PP 53 Tahun 2010. Sanksinya berat, akan dibuatkan regulasinya," kata Grup Head Pelaporan dan Pemeriksaan LHKPN Komisi Pemberantasan Korupsi Adlinsyah Nasution di Bandung, Selasa, 19 Mei 2015.
Adlinsyah menuturkan, KPK menilai program pencegahan korupsi melalui kepatuhan pelaporan LHKPN belum efektif. Lembaganya menyiapkan kerja sama dengan pemerintah daerah mendorong percepatan program pencegahan korupsi, melalui penerbitan regulasi yang mengatur pemberian sanksi itu.
“Kami mulai dari Jawa Barat sebagai ‘pilot-project’ pertama. Kalau sukses, akan dicoba di daerah lain,” kata Adlinsyah.
Menurut Adlinsyah, percepatan pelaporan LHKPN itu menjadi bagian program kerjasama KPK dengan pemerintah Jawa Barat, yang akan menjalankan program pencegahan korupsi terintegrasi. Lewat kerja sama yang akan diteken gubernur dengan pimpinan KPK pada 22 Mei 2015 nanti, misalnya berisi pelibatan Sekretariat Daerah dan Inspektorat untuk mengelola pelaporan harta tersebut. “Sekretarif Daerah akan mensupport data, dan inspektorat menjalankan fungsi pengawasan,” ujar dia.
KPK meminta penyelenggara negara yang wajib menyerahkan laporan kekayaannya sampai dengan level pejabat Eselon III yang punya fungsi strategis. Adlinsyah mengatakan, KPK bersandar pada regulasi yang diterbitkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi soal kewajiban Pegawai Negeri Sipil melaporkan hartanya.
Menurut Adlinsyah, Kementerian PAN RB dan KPK membagi tugas. Bagi penyelenggara negara golongan Eselon 3 ke atas wajib menyerahkan laporan kekayaannya pada KPK, sementara dengan jenjang dibawahnya diserahkan pada Kementerian. “Ada yang namanya Laporan Harta Kekayaan Aparatur Sipil Negara itu dikelola sendiri oleh Kementerian PAN RB,” kata dia.
Adlinsyah mengatakan, salah satu kendala kepatuhan pelaporan LHKPN ada pada penjatuhan sanksi bagi yang lalai. “Undang-undang mengatakan sanksinya administratif. Kami minta dijabarkan dalam bentuk peraturan di masing-masing daerah,” kata dia. “Kami mendorong Peraturan, jangan SK (Surat Keputusan) yang sifatnya hanya pengaturan informal, himbauan.”
Menurut Adlinsyah, mayoritas penyelenggara negara menyampaikan LKHPN Pelaporan A, yang pertama. Sementara masih ada kewajiban memperbarui laporan kekayaan itu, yakni pada Pelaporan B. Misalnya bagi menjabat di posisi sama dua tahun, mengalami mutasi, atau rotasi. “Dia harus lapor lagi, itu namanya Pelaporan Berikutnya, Pelaporan B,” kata dia.
Adlinsyah mengingatkan, saat ini LHKPN tidak sebatas kewajiban penyelengara negara, tapi sudah menjadi persayaratan bagi pejabat yang bersangkutan untuk mengikuti lelang jabatan. “Surat edaran Sekretaris Kabinet untuk jabatan Eselon 1 dan 2, persyaratannya harus menyertakan LHKPN,” kata dia.
Pelaksana Tugas Sekda Jawa Barat Iwa Karniwa mengatakan, saat ini pemeirntah provinsi tengah menyiapkan Peraturan Gubernur untuk memenuhi permitnaan lembaga anti-rasuah tersebut. “Memuat hak dan kewajiban yang merupakan turunan dari Undang-Undang 28/1999 tentang Pemberantasan KKN, sekarang dalam proses penyusunan draft Pergub,” kata dia saat dihubungi Tempo, Selasa, 19 Mei 2015.
Iwa mengatakan, dalam Pergub tersebut tercantum pemberian sanksi bagi pegawai provinsi yang tidak melakukan pelaporan LHKPN. “Mengikuti PP 53/2010, kami sedang rumuskan sanskinya,” kata dia.
Menurut Iwa, dalam Pergub yang tengah disusun tersebut juga mencantumkan aturan baru yang mewajibkan penyerahan laporan LHKPN terbaru sebagai perysaratan bagi calon pejabat yang hendak mengikuti lelang jabatan di pemerintah provinsi. "Kita lebih efektifkan di situ," kata dia. "Sebelumnya syarat ini belum masuk untuk lelang jabatan."
Iwa mengatakan, rancangan Pergub itu juga memperluas kewajiban pelaporan LHKPN yang tidak lagi sebatas pejabat Eselon 2, tapi juga menjangkau pejabat Eselon III khusus yang rawan praktek gratifikasi. "Tahap pertama bagi Eselon 3 di Dinas Pendapatan Daerah, dan Inspktorat, serta seluruh auditor," kata dia. "Kemungkinan diperluas ke BPMPT (Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu)."
AHMAD FIKRI