Sejarah Mataram Islam Terputus Jika Perempuan Jadi Sultan  

Reporter

Editor

Elik Susanto

Rabu, 6 Mei 2015 15:20 WIB

Sejumlah Prajurit Keraton Yogyakarta mengikuti prosesi Grebeg Syawal Keraton Yogyakarta di halaman Masjid Gede Kauman, Yogyakarta, 29 Juli 2014. ANTARA/Andreas Fitri Atmoko

TEMPO.CO, Yogyakarta - Langkah Sri Sultan Hamengku Buwono X menghilangkan sebutan "Khalifatullah" untuk Raja Keraton Yogyakarta (Mataram) akan mengubah prinsip kerajaan yang berdiri pada abad ke-16 itu. Kata tersebut sudah dicabut dalam Sabdaraja atau perintah raja yang dibacakan di Siti Hinggil Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada 30 April 2015.

Gelar Khalifatullah tercantum dalam sebutan Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Ngayogyakarta Hadiningrat. Gelar dalam bahasa Jawa ini menjelaskan bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono sekarang merupakan raja yang kesepuluh pewaris Kerajaan Mataram Islam.

Menurut Ketua Forum Persaudaraan Umat Beriman Kiai Abdul Muhaimin, keputusan Sri Sultan itu membingungkan masyarakat Yogyakarta. Lebih jauh dari itu, Sabdaraja bakal memutus rantai sejarah Keraton Mataram Islam. Sebab gelar tersebut merupakan konsep kepemimpinan politik dan spiritual yang menjadi warisan sejarah panjang Kerajaan Mataram.

Dalam gelar Khalifatullah, kata dia, terkandung prinsip kesatuan antara nilai budaya Jawa dan Islam yang dianut rakyat. "Kepemimpinan negara menyatu dengan kepemimpinan agama, makanya Sultan layak disebut Khalifatullah," kata Muhaimin, menanggapi kebijakan Sri Sultan.

Perubahan gelar itu telah diimplementasikan oleh Sultan dengan memberi sebutan kepada putri sulungnya, yaitu Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun. Anak pertama dari empat bersaudara yang semuanya perempuan itu dinobatkan sebagai putri mahkota sekaligus calon pengganti Sultan. Gelarnya lengkapnya menjadi Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram.

Muhaimin, yang juga pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummahat, berpendapat, dengan penghapusan gelar Khalifatullah, nilai konsep kepemimpinan Keraton tereduksi. Selain memutus riwayat Keraton Mataram Islam, kata dia, keputusan itu menurunkan derajat kewibawaan kepemimpinan Raja Yogyakarta. “Sabdaraja ini justru akan mengkerdilkan kedudukan Raja di mata masyarakat,” kata Muhaimin.

Ihwal pandangan bahwa perubahan itu merupakan hak prerogratif dan cara Sri Sultan untuk mengangkat perempuan menjadi Raja Keraton Yogyakarta, Muhaimin tidak sepakat. Mengorbitkan sultan perempuan, kata Muhaimin, tidak sesuai dengan simbol pemimpin di Keraton Yogyakarta yang merujuk pada figur laki-laki.

Rois Syuriah Nahdlatul Ulama Daerah Istimewa Yogyakarta Kiai Asyhari Abta menganggap penggantian gelar ini merupakan wewenang Sultan Hamengku Buwono X. Meski begitu, menurut Asyhari, penghapusan gelar Khalifatullah memang tidak sejalan dengan konsep pemerintahan Kerajaan Mataram Islam. "Identitas kerajaan Islam di Keraton Yogyakarta semakin luntur," kata Asyhari sembari menambahkan, “Itu hak Sultan, kita tidak berhak ikut mengurusi. Meski kurang enak mendengarnya."

Guru besar antropologi Universitas Gadjah Mada, Heddy Shri Ahimsa Putra, menganggap munculnya Sabdaraja menjadi penanda penting perubahan Keraton Yogyakarta. Penghapusan gelar Khalifatullah melenyapkan separuh derajat keistimewaan Yogyakarta. "Masyarakat harus siap melihat Keraton sudah berubah," kata Heddy.

Sabdaraja, Heddy melanjutkan, berkaitan dengan isu suksesi di Keraton Yogyakarta yang selama ini diriuhkan dengan perdebatan keabsahan sultan perempuan. Tapi, menurut Heddy, masalah ini hanya kelanjutan dari pertentangan antara nilai sistem politik modern dan tradisional yang mengiringi Keraton Yogyakarta sejak era kemerdekaan Indonesia. "Dalam sistem politik modern, gubernur bisa laki-laki dan perempuan, kalau tradisional, sultan harus laki-laki," katanya.



ADDI MAWAHIBUN IDHOM


Advertising
Advertising

Berita terkait

Aeropolis Dekat Bandara YIA, Sultan Hamengku Buwono X Minta agar Tak Ada Kawasan Kumuh

11 hari lalu

Aeropolis Dekat Bandara YIA, Sultan Hamengku Buwono X Minta agar Tak Ada Kawasan Kumuh

Sultan Hamengku Buwono X meminta agar Kulon Progo memilah investor agar tidak menimbulkan masalah baru seperti kawasan kumuh.

Baca Selengkapnya

Cerita dari Kampung Arab Kini

12 hari lalu

Cerita dari Kampung Arab Kini

Kampung Arab di Pekojan, Jakarta Pusat, makin redup. Warga keturunan Arab di sana pindah ke wilayah lain, terutama ke Condet, Jakarta Timur.

Baca Selengkapnya

Begini Antusiasme Ribuan Warga Ikuti Open House Sultan Hamengku Buwono X

15 hari lalu

Begini Antusiasme Ribuan Warga Ikuti Open House Sultan Hamengku Buwono X

Sekda DIY Beny Suharsono menyatakan open house Syawalan digelar Sultan HB X ini yang pertama kali diselenggarakan setelah 4 tahun absen gegara pandemi

Baca Selengkapnya

Sultan Hamengku Buwono X Gelar Open House setelah Absen 4 Kali Lebaran, Ada Jamuan Tradisional

19 hari lalu

Sultan Hamengku Buwono X Gelar Open House setelah Absen 4 Kali Lebaran, Ada Jamuan Tradisional

Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam X absen gelar open house selama empat tahun karena pandemi Covid-19.

Baca Selengkapnya

Sultan Hamengku Buwono X Heran Kasus Antraks di Sleman dan Gunungkidul Muncul Kembali, Karena Tradisi Ini?

45 hari lalu

Sultan Hamengku Buwono X Heran Kasus Antraks di Sleman dan Gunungkidul Muncul Kembali, Karena Tradisi Ini?

Sultan Hamengku Buwono X mengaku heran karena kembali muncul kasus antraks di Sleman dan Gunungkidul Yogyakarta. Diduga karena ini.

Baca Selengkapnya

60 Event Meriahkan Hari Jadi DI Yogyakarta sampai April, Ada Gelaran Wayang dan Bazar

50 hari lalu

60 Event Meriahkan Hari Jadi DI Yogyakarta sampai April, Ada Gelaran Wayang dan Bazar

Penetapan Hari Jadi DI Yogyakarta merujuk rangkaian histori berdirinya Hadeging Nagari Dalem Kasultanan Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat

Baca Selengkapnya

Menengok Sejarah 13 Maret sebagai Hari Jadi DIY dan Asal-usul Nama Yogyakarta

52 hari lalu

Menengok Sejarah 13 Maret sebagai Hari Jadi DIY dan Asal-usul Nama Yogyakarta

Penetapan 13 Maret sebagai hari jadi Yogyakarta tersebut awal mulanya dikaitkan dengan Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755

Baca Selengkapnya

Keraton Yogyakarta Gelar Pameran Abhimantrana, Ungkap Makna di Balik Upacara Adat

52 hari lalu

Keraton Yogyakarta Gelar Pameran Abhimantrana, Ungkap Makna di Balik Upacara Adat

Keraton Yogyakarta selama ini masih intens menggelar upacara adat untuk mempertahankan tradisi kebudayaan Jawa.

Baca Selengkapnya

DI Yogyakarta Berulang Tahun ke-269, Tiga Lokasi Makam Pendiri Mataram Jadi Pusat Ziarah

56 hari lalu

DI Yogyakarta Berulang Tahun ke-269, Tiga Lokasi Makam Pendiri Mataram Jadi Pusat Ziarah

Tiga makam yang disambangi merupakan tempat disemayamkannya raja-raja Keraton Yogyakarta, para adipati Puro Pakualaman, serta leluhur Kerajaan Mataram

Baca Selengkapnya

Ketua Komisi A DPRD DIY: Tidak Boleh Sweeping Rumah Makan Saat Ramadan

4 Maret 2024

Ketua Komisi A DPRD DIY: Tidak Boleh Sweeping Rumah Makan Saat Ramadan

Ketua Komisi A DPRD DIY Eko Suwanto menegaskan tidak boleh ada sweeping rumah makan saat Ramadan. Begini penjelasannya.

Baca Selengkapnya