Nenek Asyani, 63 tahun, menjalani sidang keempat di Pengadilan Negeri Situbondo, 16 Maret 2015. TEMPO/Ika Ningtyas
TEMPO.CO, Situbondo - Kuasa hukum Nenek Asyani, Supriyono, akan mengajukan banding atas putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Situbondo, Jawa Timur, Kamis, 23 April 2015. Alasannya, meski dijatuhi hukuman percobaan, status Asyani tetap menjadi terpidana pencurian kayu hutan. “Stigma Nenek sebagai pencuri tetap melekat,” kata Supriyono.
Menurut Supriyono, majelis hakim tidak mengutamakan keadilan dan mengabaikan moral. Sebab, vonis itu diputus hanya berdasarkan keterangan pelapor kasus itu, yakni Kepala Resor Kesatuan Pemangku Hutan Jatibanteng, Sawin. Dalam proses persidangan, hakim tidak mendatangkan saksi ahli untuk menguji tekstur kayu. “Pengujian corak kayu hanya dilakukan dengan mata telanjang,” ucapnya.
Majelis hakim juga dituding hanya mementingkan solidaritas korps. Sebab, ujar Supriyono, Pengadilan Negeri Situbondo, Perhutani, dan kepolisian sama-sama institusi pemerintah. Karena itu, selain mengajukan banding, tim kuasa hukum akan melaporkan perilaku majelis hakim kepada Komisi Yudisial.
Majelis hakim yang diketuai I Kadek Dedy Arcana membacakan vonis untuk Nenek Asyani, Kamis, 23 April 2015. Majelis menghukum tukang pijat itu dengan hukuman percobaan selama 15 bulan dan denda Rp 500 juta subsider 1 hari penjara. Hukuman percobaan tersebut dikenakan kepada perempuan 63 tahun itu karena mempertimbangkan usia dan kesehatannya. “Terdakwa tidak perlu menjalani hukuman tersebut selama tidak ada putusan hakim lainnya,” ujar I Kadek.
Asyani dianggap melanggar Pasal 12d juncto Pasal 83 ayat 1a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Putusan hakim itu lebih rendah dibanding tuntutan jaksa yang menuntut terdakwa dengan hukuman percobaan selama 18 bulan.