Sabine Atlaoui, istri terpidana mati asal Prancis Serge Areski Atlaoui, di kantor Kedutaan Besar Perancis, Jakarta, 17 April 2015. Sabine Atlaoui atas nama pribadi dan Pemerintah Perancis menyatakan memohon pengampunan kepada Presiden RI Jokowi. TEMPO/Imam Sukamto
TEMPO.CO, Jakarta - Sabine Atlaoui, istri terpidana mati Sergei Atlaoui, menyatakan suaminya bukan seorang bandar narkoba dan ahli kimia. Ia berharap pemerintah Indonesia, dalam hal ini Presiden Joko Widodo, tidak menghukum mati Sergei Atlaoui.
"Presiden Joko Widodo, saya ingin menyapa Anda dengan rendah hati dan menyampaikan bahwa suami saya bukan seorang gembong narkoba, bukan seorang ahli kimia," kata Sabine dalam konferensi pers yang juga dihadiri oleh Duta Besar Prancis untuk Indonesia Corinne Breuze di Jakarta, Jumat, 17 April 2015.
Abibe berupaya meyakinkan bahwa suaminya tidak pantas menerima hukuman mati. Ia meminta keadilan ditegakkan. Sabine lantas menceritakan bahwa suaminya adalah seorang ayah dari empat anak yang selalu mengajarkan kepada anak-anaknya rasa hormat, kasih sayang, dan kerja keras.
"Saya mengetuk lubuk hati Anda (Presiden Jokowi) yang paling dalam agar suami saya tidak dieksekusi, terima kasih," ucap Sabine menutup pernyataannya.
Duta Besar Prancis untuk Indonesia Corinne Breuz pada kesempatan yang sama mengatakan, yakin bahwa Serge Atlaoui tidak dieksekusi mati. "Prancis mengikuti perkembangan kasus ini, dan saya percaya Serge Atlaoui tidak dieksekusi," katanya.
Serge Atlaoui, warga negara Prancis, divonis mati pada 2007. Ia bersama beberapa orang lainnya dinyatakan terlibat dalam pengoperasian pabrik ekstasi terbesar di Asia yang berlokasi di Cikande, Kabupaten Serang, Banten. Vonis mati diberikan oleh Mahkamah Agung dalam sidang kasasi.
Hukuman mati di tingkat kasasi tersebut lebih berat daripada vonis di Pengadilan Negeri Tangerang 2006 dan Pengadilan Tinggi Banten pada 2007. Kedua pengadilan ini menyatakan Atlaoui dihukum penjara seumur hidup.
Namanya masuk dalam daftar narapidana yang akan dieksekusi mati oleh Kejaksaan Agung RI setelah grasinya ditolak oleh Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 35/G Tahun 2014.