Suksesi Kesultanan Yogyakarta Konsekuensinya Berat
Editor
Nur Haryanto
Selasa, 17 Februari 2015 03:39 WIB
TEMPO.CO , Yogyakarta - Kerabat Keraton Yogyakarta Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Hadiwinoto mengatakan suksesi Kasultanan Yogya memiliki konsekuensi yang sangat berat. Jika orang yang tak berhak naik tahta, dipastikan sultan terpilih akan mati. "Kalau bukan haknya, (pasti) mujur ngalor," katanya di depan wartawan di gedung DPRD DIY, Senin 16 Februari 2015.
Mujur ngalor adalah tamsil bagi orang yang sudah meninggal dan dikuburkan. Ia tak menjelaskan detil konsekuensi itu. Yang jelas, dalam tradisi masyarakat Jawa, orang yang tak berhak itu adalah orang yang tak ditakdirkan menjadi raja. "Orang dulu mengatakan tidak ketiban wahyu," katanya.
Saat ini, wacana siapa yang paling berhak menggantikan Raja Keraton Yogya Sultan Hamengku Buwono X mencuat seiring dengan pembahasan draft peraturan daerah tentang pengisian jabatan Gubernur DIY dan wakilnya. Undang-Undang Keistimewaan DIY mengamanatkan Gubernur DIY adalah sultan yang bertahta. Sementara UU nomor 13 tahun 2012 itu juga mengindikasikan seorang gubernur adalah laki-laki, kelima anak Sultan kini seluruhnya perempuan.
Ia mengatakan urusan pengisian jabatan gubernur adalah wewenang pemerintah. Namun, ia mengingatkan, tentang siapa sultan yang bertahta, itu adalah urusan keraton. "Jangan utak-atik ranah keraton," katanya.
Keraton, ia mengatakan, memiliki aturan tersendiri (paugeran) untuk memutuskan siapa yang berhak menjadi pengganti sultan. Urut-urutannya, anaknya dulu baru saudaranya. "Tapi anak juga ada persyaratannya," katanya. Ditanya apakah anak perempuan bisa naik tahta, ia justru balik bertanya. "Bagaimana anda melihat selama ini, dari HB I sampai HB X?"
Sepanjang sejarah keraton Yogyakarta, sultan adalah seorang lak-laki. Ia mengatakan ada dua suksesi sultan yang bisa menjadi rujukan kondisi saat ini. Peralihan dari Hamengku Buwono V ke Hamengku Buwono VI dan Hamengku Buwono VII ke Hamengku Buwono VIII.
Hamengku Buwono V, menurut dia, tak memiliki anak laki-laki untuk meneruskan tahtanya. Meski kala itu, ada garwo (istri) ampean yang hamil dua bulan. "Belum ada USG waktu itu, jadi belum tahu laki atau perempuan," katanya. Kalau pun anak yang dilahirkan laki-laki, tentu tak memungkinkan memimpin kerajaan karena usianya masih bayi. Sehingga kerabat keraton kala itu menggelar rapat dan memutuskan rayi ndalem menjadi Hamengku Buwono VI.
Dua kasus suksesi itu, menurut dia, menjadi dasar paugeran tata cara seorang perempuan tak bisa menjadi raja keraton Yogya. "Sudah punya paugeran, ada yurisprudensinya," katanya. "Memang kejam, tapi hukumnya seperti itu."
Ia enggan banyak berkomentar saat ditanya siapa yang paling berhak menggantikan Hamengku Buwono X jika didasarkan aturan seperti itu. Namun dari sekian banyak saudara Hamengku Buwono X, Hadiwinoto adalah salah satu yang sekandung. "Saya satu ibu, adik langsung," katanya, menjelaskan singkat silsilahnya.
ANANG ZAKARIA