TEMPO.CO, Jakarta - Pemberantasan terorisme diduga menjadi motif di belakang pembunuhan aktivis hak asasi manusia, Munir Said Thalib, pada 7 September 2004. Sebelum berangkat ke Belanda untuk studi hukum di Utrecht Universiteit, Munir yang juga Direktur Imparsial ini kerap mempertanyakan metode pemerintah menangkap dan menangani pelaku teror yang tak mempertimbangkan hak asasi. (Baca: Munir ke Belanda demi Alif)
Dugaan motif ini merujuk pada jalinan fakta yang terserak di sekitar pembunuhan Munir. Surat rekomendasi penugasan untuk Pollycarpus Budihari Priyanto dari Badan Intelijen Negara berisi penangkalan terorisme. Polly adalah eksekutor yang menaburkan racun arsenik ke minuman Munir saat transit di Bandar Udara Changi, Singapura. (Baca: Munir Dibunuh karena Sejumlah Motif, Apa Saja?)
Surat tersebut dibuat atas nama As’ad Said Ali, Wakil Kepala BIN ketika itu. As’ad adalah pejabat BIN yang menangani terorisme sepanjang karier intelijennya. “Saya bertugas lama di Timur Tengah,” katanya. Bulan lalu ia meluncurkan buku Al Qaeda: Tinjauan Sosial Politik, Ideologi, dan Sepak Terjangnya. (Baca: Kasus Munir, Muchdi Bebas karena Surat Palsu?)
As’ad tak mengonfirmasi penugasan Polly dalam mengamankan aset penting dari ancaman terorisme tersebut. Ia menyangkal membuat surat yang ditujukan kepada Direktur Utama Garuda Indonesia Indra Setiawan. Garuda adalah tempat kerja Polly sebagai pilot Airbus A-330. Munir meninggal di pesawat tersebut. (Baca: Pollycarpus Sebut Munir Target Ikan Besar)
Intelijen Belanda yang memantau kematian Munir juga bertugas dalam bidang terorisme. Intelijen tersebut bertemu Rachland Nashidik, anggota Tim Pencari Fakta Kematian Munir, di Amsterdam pada 2005. Tahun itu, intelijen Belanda ini sudah pindah tugas ke Afganistan. Ia menerangkan alasan pemerintah Belanda tak segera mengirim hasil otopsi jenazah Munir. (Baca selengkapnya di Majalah Tempo Edisi 8-13 Desember 2014)