Pengosongan Kolom Agama Bukan Solusi buat Baha'i
Editor
Kukuh S Wibowo Surabaya
Selasa, 11 November 2014 14:39 WIB
TEMPO.CO, Banyuwangi - Pengamat Baha'i Indonesia dan Asia Tenggara, Amanah Nurish, mengatakan pemerintah tak cukup hanya mengeluarkan kebijakan mengkosongkan kolom agama pada kartu tanda penduduk.
Yang lebih penting dari itu, kata dia, adalah pemerintah harus mengayomi kelompok minoritas, termasuk pemeluk agama Baha'i. "Ini bukan persoalan identitas keagamaan, tetapi persoalan mayoritas-minoritas yang menjadi pemicu polemik berkepanjangan," kata Amanah Nurish dalam pesannya kepada Tempo, Selasa, 11 November 2014.
Menurut dia, pencantuman agama dalam KTP memang telah memproduksi diskriminasi terhadap kelompok minoritas Baha'i di Indonesia. Identitas keagamaan ini kemudian menjadi belenggu ketidakadilan pemerintah dalam pelayanan hak-hak sipil. (Baca berita sebelumnya: Umat Baha'i Harapkan Pengakuan Negara)
Pemerintah, kata dia, tidak mengizinkan pemeluk Baha'i untuk mencantumkan agama mereka di KTP. Sehingga mau tak mau penganut Baha'i harus mencantumkan salah satu agama resmi di KTP mereka. Di samping itu, anak-anak yang lahir dari keluarga Baha'i juga tidak mendapatkan akte kelahiran.
Padahal, sesuai amanah konstituasi Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945, setiap orang memiliki hak yang sama untuk hidup di Indonesia. Apalagi berdasarkan UU 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dinyatakan, agama Baha'i merupakan agama di luar Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. "Undang-undang ini sudah jelas dan tinggal mengaplikasikan dalam segmen pemerintahan lokal sampai tingkat nasional," kata kandidat doktor dari Indonesian Consortium For Religious Studies (ICRS) Universitas Gadjah Mada ini.
Sehingga, kata Nurish, pengosongan kolom agama sejatinya belum tentu menjamin tuntasnya problem intoleransi kehidupan beragama apabila negara tak menyelesaikan masalah mayoritas-minoritas tersebut. "Konteks toleransi dan kehidupan beragama akan tetap amburadul," kata perempuan asal Banyuwangi ini. (Baca: Menteri Agama Ingin Semua Agama Dilayani Negara)
<!--more-->
Baha'i adalah agama yang berdiri sendiri dan bukan aliran atau sekte dari agama apa pun. Agama ini telah dianut di 191 negara dan memiliki perwakilan formal non-pemerintahan di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di Indonesia, agama ini pertama kali masuk sekitar tahun 1885 dan kini tersebar di 28 provinsi.
Sebagai agama yang mandiri, Baha'i memiliki Pembawa Wahyu, kitab suci, hukum-hukum, dan tata peribadatannya sendiri. Inti ajaran Baha'i menyangkut keesaan Tuhan, ketunggalan umat manusia, dan visi perdamaian dunia. Para pemeluknya tidak terlibat dalam politik praktis dan menyatakan kesetiaan terhadap pemerintahan yang sah. (Baca: Kontroversi Agama di KTP Bisa Jadi Bola Politik )
Keberadaan para pemeluk agama Baha'i kembali diperbincangkan setelah Kementerian Dalam Negeri menyurati Kementerian Agama untuk meminta pandangan. Langkah itu diperlukan agar pemerintah dapat memfasilitasi hak dan layanan kependudukan mereka sesuai sistem administrasi kependudukan.
Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin sempat menyinggung sikapnya lewat akun Twitter-nya, @lukmansaifuddin pada Juli 2014 lalu. Menurut dia, Baha'i merupakan agama yang dilindungi konstitusi. Karena itu, umat Baha'i mestinya berhak mendapat pelayanan kependudukan yang sama seperti pemeluk agama lain. (Baca juga: Lukman Hakim Tak Resmikan Baha'i sebagai Agama)
IKA NINGTYAS
Berita Terpopuler:
Bahasa Inggris Jokowi Dipuji
Bertemu Obama, Jokowi Berbahasa Indonesia
Hasut Massa Tolak Ahok, Bos FPI Terancam Pidana
FPI Siapkan Pengganti Ahok, Namanya Fahrurrozi