Bupati Bogor, Rachmat Yasin dikawal keluar dari Gedung KPK, Jakarta (9/5). Ketiga tersangka ditangkap KPK beserta barang bukti uang tunai Rp1,5 miliar telah resmi menjadi tersangka dugaan tindak pidana korupsi dan ditahan di rutan KPK. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
TEMPO.CO, Jakarta - Pakar tata ruang dari Universitas Trisakti Yayat Supriyatna mengatakan kasus pengalihfungsian lahan hutan menjadi kawasan permukiman yang melanggar rencana tata ruang wilayah sudah kerap terjadi di berbagai daerah. Kasus yang menjerat Bupati Bogor Rachmat Yasin hanya salah satu dari berbagai kasus penyerobotan lahan hutan yang terjadi. "Sudah banyak sekali. Di Puncak (Bogor) itu sebetulnya banyak vila dibangun di kawasan hutan lindung. Ada juga hotel baru di Uluwatu (Bali), padahal kawasan lindung," kata Yayat, Senin, 12 Mei 2014.
Kendati pencaplokan lahan hutan kerap terjadi, kata Yayat, pelanggaran itu jarang diusut. Sebab, kata Yayat, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) baik dari daerah maupun Kementerian Kehutanan tak punya wewenang yang cukup untuk penindakan. "Apa PPNS berani menyidik bupati atau wali kota? Mereka tak berdaya. Mereka tak punya kapasitas kuat untuk melakukan penyelidikan," kata Yayat.
Menurut Yayat, isu pelanggaran tata ruang yang paling sensitif memang terkait gratifikasi. Biasanya pengusaha akan menyogok penguasa daerah seperti bupati atau wali kota untuk mendapat rekomendasi pengalihfungsian dari kawasan hutan menjadi pemukiman. Selanjutnya mereka juga akan menyogok Dinas Kehutanan agar dapat izin pengelolaan hutan.
Pekan lalu, Bupati Bogor Rachmat Yasin ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi di Bogor. Politikus Partai Persatuan Pembangunan itu diduga menerima suap sekitar Rp 4,5 miliar terkait proyek Sentul Nirwana untuk mengalihfungsikan 2.754 hektare kawasan hutan menjadi kawasan permukiman. Lahan itu sebenarnya sudah ditetapkan di RTRW Bogor sebagai kawasan hutan sejak 2008 lalu.