Ketua Umum Gerindra Dikalahkan Anak Jenderal Djoko
Editor
Sunu Dyantoro
Kamis, 24 April 2014 11:53 WIB
TEMPO.CO, Yogyakarta - Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya Suhardi mengaku terheran-heran melihat betapa melejitnya perolehan suara Andika Pandu Puragabaya, anak pensiunan Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso.
“Aneh banget,” katanya kepada Tempo di Joglo Markas Pemenangan Gerindra di Yogyakarta, Selasa malam, 23 April 2014. Pandu, menurut dia, “Jarang sosialiasi, tak pernah muncul tapi tahu-tahu luar biasa (perolehan) suaranya.”
Pandu merupakan calon legislator DPR dari Gerindra. Ia maju dari daerah pemilihan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan nomor urut empat. Dalam catatan daftar riwayat hidupnya yang diunggah ke laman Komisi Pemilihan Umum, lelaki kelahiran Malang itu disebutkan tinggal Cililitan, Jakarta Timur.
Dalam pemilu legislatif tahun ini, Suhardi juga mencalonkan diri sebagai anggota DPR dari dapil yang sama dengan Pandu. Mantan Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu menempati nomor urut satu dalam daftar pencalonan.
Meski rekapitulasi suara oleh KPU DIY belum rampung, sejumlah penghitungan suara sementara menyebutkan perolehan suara Pandu mengungguli Suhardi. Bahkan hasil rekapitulasi KPU Kota Yogyakarta mencatat Pandu meraup 5.191 suara. Jumlah suara itu lebih tinggi dibanding perolehan suara Suhardi (4.500), serta KPH Wironegoro (4.451), menantu Gubernur DIY yang mencalonkan diri sebagai anggota DPR dari Gerindra lewat dapil DIY dengan nomor urut dua.
Menurut Suhardi, memang ada yang salah dalam proses sosialisasi pencalonannya. “Kurang normal,” katanya tanpa merinci maksud sosialisasi yang tak normal itu. Namun, menurut dia, sosialisasi untuk partai sudah sangat kuat. Hal itu terlihat dari perolehan suara Partai Gerindra yang ia nilai cukup tinggi.
Di Kota Yogyakarta, dari hasil rekapitulasi KPU setempat, Gerindra tercatat meraih 9.629 suara. Jika ditotal dengan perolehan suara delapan orang legislatornya, Gerindra di Kota Yogyakarta meraup 25.804 suara.
Menurut dia, persaingan di antara caleg separtai dalam pemilu ini sangat ketat. Karena itu, ia sebelumnya sudah membuat satu aturan agar tidak ada aksi saling "mengambil suara” dan "mengiris wilayah” teman separtai. “Ini sudah saya buat, jangan diambil,” katanya. Toh, aturan itu tak dipatuhi. “Ternyata ngambil yang sudah saya buat.”
Ia mengatakan sebenarnya Gerindra berpeluang mendulang suara besar dari menurunnya popularitas Demokrat. Sayangnya, sesama caleg Gerindra malah saling menyerobot. “Padahal seharusnya (bersaing) dengan (caleg) partai lain,” katanya.
Menanggapi kekalahan perolehan suara oleh Pandu, ia mengaku sudah tak ada masalah. “Saya bisa terima,” katanya. Menurut dia, kekalahan itu adalah bagian dari sistem demokrasi terbuka. “Kenyataan seperti itu.”
Dalam pemilihan umum seperti ini, menurut dia, hanya calon yang memiliki modal besar yang cenderung bisa memenangi pemilihan. “Hanya yang kaya raya yang bisa menang.” Maka, bagi dia, Indonesia lebih baik menganut demokrasi tertutup. Dengan begitu, biaya pencalonan lebih murah, partai bisa menentukan kadernya sebagai legislator karena lebih tahu kapasitasnya, serta semua calon legislator pasti bersosialisasi ihwal program partai.
ANANG ZAKARIA