TEMPO Interaktif, Jakarta:Mahkamah Konstitusi menunda membacakan putusan perkara peninjauan kembali (judicial review)Undang-Undang Ketenagalistrikan dan Migas. Seharusnya pembacaan itu akan dilakukan hari ini, Rabu (24/11). Alasan penundaan, karena belum selesainya Rapat Permusyawaratan Hakim. Namun sampai saat ini belum ditentukan kapan pembacaan putusan itu akan dilakukan. Undang-undang Nomor 20 tahun 2002 tentang ketenagalistrikan diajukan oleh Asosiasi Penasehat Hukum dan HAM Indonesia (APHI), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) dan Yayasan 324 yang diajukan untuk diuji terutama pasal 8,16 dan 30. Karena dinilai bertentangan dengan pasal 33 (2) UUD 1945. Ketiga pasal dalam UU tentang ketenagalistrikan itu dikhawatirkan pemohon akan dapat mendorong kenaikan tarif serta keterbatasan kemampuan pemerintah untuk mengawasi perusahaan-perusahaan listrik swasta, sehingga akan dapat merugikan kepentingan masyarakat. Pasal 8 (2) UU tentang ketenagalistrikan berisi bahwa perusahaan listrik akan dipecah dan dikelompokan menjadi tujuh jenis usaha. Pasal 16 menjelaskan bahwa ketujuh jenis usaha tersebut dijalankan secara terpisah oleh badan usaha yang berbeda. Sehingga kedepan, yang mengelola listrik bukan hanya PLN seperti sekarang ini. UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Migas diajukan oleh enam pemohon karena dianggap UU ini bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945, karena dengan masuknya swasta akan membuat harga minyak mengacu harga pasar minyak dunia. Dengan demikian, harga akan melonjak dan masyarakat miskin akan terpuruk. Pemohon mengkhawatirkan UU tersebut akan membuka peluang degradasi BUMN, melemahkan daya saing LNG Nasional, mengecilkan bangsa Indonesia untuk mengolah gas alam karena dikalahkan oleh kepentingan asing. Di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jln. Merdeka Barat, Jakarta, belasan orang yang mengatasnamakan Forum Solidaritas Masyarakat Peduli Migas (Fortas-MPM) mengadakan aksi didepan Gedung Mahkamah Konstitusi. Mereka menuntut agar UU Migas dicabut. Apabila MK menolak tuntutan pencabutan UU Migas, maka mereka akan tetap melanjutkan tuntutan itu. "Kami akan mengajukan tuntutan amandemen UU Migas ke DPR yang baru," ujar Teddy Syamsuri, Koordinator Eksekutif Fortas-MPM. Spanduk berisi tuntutan yang dibentangkan dimuka gedung MK mengatasnamakan banyak pihak diantaranya MPM, Buruh, Tani, Pensiunan Pertamina, BEM UI, dan lain-lain. Mereka menilai bahwa UU Migas bertentangan dengan pasal 33 (2) dan (3) UUD 1945. Disamping itu mereka menilai bahwa proses persetujuan UU tersebut di DPR tidak memenuhi kuorum karena hanya dihadiri sekitar 60 orang dari 480 anggota DPR. Permasalah mendasar yang mereka kemukakan diantaranya UU Migas akan mengamputasi Pertamina dari bentuk BUMN menjadi Persero, menghentikan //security of suplay// BBM dalam negeri yang selama ini dijalankan Pertamina. Selain itu, UU Migas juga akan menentukan harga BBM dalam negeri pada mekanisme persaingan usaha (pasar bebas). Pasal 9 (1) UU Migas menyebutkan pihak swasta diijinkan mengelola sektor Migas baik dihulu maupun dihilir. Sedangkan pasal 10 (1) menjelaskan badan usaha yang sudah melakukan kegiatan di sektor hulu tidak diijinkan untuk melakukan kegiatan yang sama di sektor hilir. Akibatnya, Pertamina harus kehilangan dominasinya, karena harus memilih salah satu antara dihilir atau dihulu saja. Indriani