TEMPO.CO, Yogyakarta - Pengamat media mengkhawatirkan perkembangan wacana yang belakangan ini muncul di masyarakat pasca peristiwa penembakan di lembaga pemasyarakatan Cebongan, Sleman. Pergeseran isu dari pelanggaran HAM atas penembakan empat tahanan menjadi wacana pemberantasan preman dan dukungan terhadap Kopassus, telah mengaburkan masalah utama.
"Pergeseran isu itu tampak dari beberapa aksi dukungan pemberantasan preman, pemasangan spanduk, hingga mobilisasi dukungan dan pujian terhadap Kopassus melalui jejaring sosial," kata pengamat media dari Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta Lukas Ispandriyarno.
Lukas menjadi salah satu pembicara dalam diskusi bertema 'Penyerangan Lapas Cebongan: antara Fakta, Hidden Agenda dan Framing Media' di sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, Selasa (9/4) malam.
Berdasarkan pengamatan Tempo, sejumlah spanduk ramai menghiasi sudut-sudut persimpangan jalan di kawasan kota Yogyakarta. Seperti di pojok perempatan kantor Pos Besar Yogyakarta yang berdampingan dengan pos polisi ada spanduk bertuliskan I Love Kopassus, I Love Polri, Rakyat-TNI Bersatu Berantas Preman Termasuk yang Berkedok Agama, Terimakasih Kopassus Yogyakarta Aman Preman Minggat, Premanisme Bukan Sifat Asli Orang Yogya Pergi atau Kita Usir, juga Basmi Preman Termasuk yang Berkedok Agama Sampai Seakarnya.
Menurut Lukas wacana yang berkembang terutama di Yogyakarta ini berbahaya. "Jangan-jangan Yogyakarta dikuasai militer karena terstruktur. Publik juga enggak berani bersikap, rata-rata setuju pemberantasan preman," kata Lukas.
Selain soal pemberantasan preman, dia menyoroti pemuatan jargon-jargon TNI untuk mengangkat citra Kopassus melalui media. Jargon yang ditampilkan media seperti ksatria, bawahan, korsa, spontan. "Itu diucapkan tim dalam pengumuman yang sangat cepat. Kelihatan sekali kalau di-framing," kata Lukas.
Sementara itu, peneliti konflik dari Pusat Studi Konflik dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Najib Azka menilai ada upaya sistematis untuk mengembangkan opini tentang pemberantasan premanisme di Yogyakarta. "Media diarahkan ke sana (isu premanisme) ketimbang upaya pengungkapan dan proses peradilan yang adil," kata Najib.
Pengaruh ini, katanya masyarakat menjadi saling tuding. Wacana yang berkembang di antaranya mempertanyakan apakah penembakan empat tahanan yang mengeroyok anggota Kopassus Sersan Kepala Heru Santosa hingga tewas itu layak disebut pelanggaran HAM berat atau sebaliknya. Najib menjelaskan, bahwa pelaku pelanggaran HAM adalah negara. "Empat tahanan itu ditembak mati di dalam penjara karena tak ada perlindungan keamanan dari negara sebagai pemegang otoritas," katanya.
Sedangkan pengeroyokan yang dilakukan empat tahanan terhadap Heru adalah pelanggaran hukum atau tindakan kriminal antar publik. "HAM masih jadi isu yang asing bagi khalayak. Jadi jangan hanya melawan preman jalanan, tapi juga berantas preman berseragam," kata Najib.
Lukas juga mengingatkan media untuk mengawal hasil penyidikan polisi atas kasus penembakan itu. "Penyidikan adalah tugas polisi. Media harus menagih hasil kerja polisi," kata Lukas.
Menurut Lukas, hal-hal yang perlu dikejar jurnalis di lapangan misalnya: apa yang telah dilakukan dan harus dilakukan polisi, apa hasil sketsa wajah pelaku cocok atau tidak dengan pelaku versi TNI AD, apa hasil uji balistik peluru. Khalayak, katanya tidak perlu menunggu persidangan terhadap para pelaku, melainkan publik mengetahui apa yang sebenarnya terjadi itu merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
"Jangan sampai hasil kerja media (mengumpulkan data dan fakta) hilang gara-gara pengumuman tim TNI itu. Publik menunggu media mengungkapnya," kata Lukas.
PITO AGUSTIN RUDIANA
Topik terhangat:
Partai Demokrat | Agus Martowardojo | Serangan Penjara Sleman | Harta Djoko Susilo | Nasib Anas
Berita lainnya:
Tengok Cuitan Anas Urbaningrum Soal SMS
Mantan Pangdam IV: Komnas HAM Jangan Didengar
SBY: 1.000 Persen Ibu Ani Tak Terlibat Hambalang
Dirut MRT Irit Bicara, Ahok: Bagus Dong!
'SBY Tak Percaya Orang Lain Selain Dirinya Sendiri'