TEMPO Interaktif, Jakarta: Kelompok yang menamakan diri Komite Peduli Rakyat meminta Komnas HAM agar mendorong dicabutnya keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 01/BER/mdn-mag/1969 dengan mendatangi kantor Komnas HAM, Kamis (12/8). Dalam surat keputusan bersama tentang pelaksanaan tugas aparatur pemerintah dalam menjamin ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pengembangan dan ibadat agama oleh pemeluk-pemeluknya, mengharusnya setiap pendirian rumah ibadah mendapatkan izin dari kepala daerah. Hal itu ditegaskan dalam pasal 4 ayat 1 yang berbunyi "setiap pendirian rumah ibadat perlu mendapatkan ijin dari kepala daerah atau pejabat pemerintahan dibawahnya yang dikuasakan untuk itu."Menurut koordinator Komite Peduli Rakyat, Habiburokhman, mendirikan rumah ibadah seharusnya menjadi bagian dari hak setiap umat untuk beribadah sesuai dengan ibadah agamanya. Tetapi pada kenyataannya peraturan tersebut menjadi senjata para kepala daerah untuk mempersulit pendirian rumah ibadah oleh penganutnya. Hal tersebut juga dipertegas Pendeta Shepard Supit. Ia mengatakan, kenyataannya izin tersebut diperdagangkan oleh oknum pemerintah dengan memasang harga tertentu kepada umat beragama yang hendak mendirikan rumah ibadat. "SK ini telah menimbulkan tindakan sewenang-wenang dalam bentuk premanisme dan pungutan liar," katanya. Supit yang juga tergabung dalam Asosiasi Pendeta Indonesia, menambahkan, telah terjadi diskriminasi antar umat beragama. Ada satu kelompok yang boleh mendirikan rumah ibadah sementara kelompok lain tidak diperbolehkan.Menanggapi hal tersebut, Soelistyowati Soegondo, Ketua Sub Komisi Hak Sipil dan Politik mengatakan, dalam kasus tersebut bukan hanya diskriminasi, tapi juga melanggar hak kebebasan beragama.Menurut Soegondo, pihaknya juga tengah memperjuangkan Rancangan Undang-Undang tentang Penerapan Kerukunan Beragama. Pengaduan tersebut akan dijadikan masukan untuk mendukung segera diprosesnya RUU tersebut. "Ini tidak hanya menyangkut yang lima agama, khususnya mendirikan tempat beribadah, tapi juga nasib dan kebebasan untuk menyakini kepercayaan," katanya. Tito Sianipar - Tempo News Room