TEMPO Interaktif, Jakarta: Sejumlah pemuka agama menawarkan kontrak moral politik kepada para calon presiden. Diantara butir-butir kontrak itu adalah mencabut semua kebijakan diskriminatif terhadap penganut agama, restrukturisasi fungsi Departemen Agama, menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu dan menjamin hak warga negara dalam beragama. Intelektual Islam Djohan Effendi mengatakan, selama ini masih banyak kebijakan negara yang bersifat diskriminatif terhadap penganut kepercayaan, misalnya penganut Kong Hu Cu. "Kebijakan diskriminatif itu harus dicabut," katanya di sela-sela lokakarya pemuka agama di Jakarta, Rabu (23/6).Tampak hadir dalam acara yang digagas oleh Konferensi Indonesia untuk Agama dan Perdamaian (ICRP) bersama Partnership itu, antara lain, Ketua Umum Aisyiyah Prof. Siti Chamamah, Pendeta Judo Purwowidagdo, Wenshi Indarto dari Kong Hu Cu, Parwati Supangat dari Budha dan Putu Setia dari Hindu.Untuk menghapus kebijakan diskriminatif ini, pemuka agama mengharapkan negara tidak lagi terlibat dalam mendefinisikan apa yang disebut agama dan kepercayaan. Namun, negara wajib memberikan pengakuan kepada seluruh agama dan kepercayaan yang tumbuh di masyarakat sehingga mendapatkan hak dan pengakuan hukum yang sama. Selain itu, pemerintah juga diharapkan menghentikan formalisasi hukum agama dan pembahasan rancangan Undang-undang Kerukunan Umat Beragama.Departemen Agama selama ini dinilai hanya memberikan perhatian kepada penganut lima agama besar. Selain itu, Departemen Agama juga dinilai telah terlalu jauh ikut campur dalam kehidupan beragama, mulai dari perkawinan, pendidikan dan penentuan hari suci agama. Ke depan diharapkan Departemen ini akan lebih fokus pada penyusunan kebijakan beragama yang menaungi semua agama dan kepercayaan. Oleh karena itu, struktur departemen yang hanya mencerminkan pelayanan kepada penganut lima agama besar pun harus diubah.Djohan mengatakan komitmen tersebut hanya bersifat moral, karena itu tergantung dari komitmen para calon presiden untuk melaksanakannya jika terpilih kelak. "Apakah mereka mau mendengarkan suara masyarakat atau tidak," katanya.Soal keterlibatan para ulama dalam dukung-mendukung calon presiden, Djohan menilai para ulama sudah melangkah terlalu jauh. Hal itu misalnya terkait dengan munculnya beberapa fatwa ulama yang mengharamkan memilih calon presiden perempuan. "Ulama-ulama seperti itu selalu muncul dalam kondisi seperti ini," katanya.Sapto Pradityo - Tempo News Room