Penyidik KPK, Novel ketika bersaksi untuk Muhammad Nazaruddin di Pengadilan TIndak Pidana Korupsi, Jakarta, (12/3). TEMPO/Seto Wardhana
TEMPO.CO , Jakarta : Tim Kuasa Hukum penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan merasa janggal dengan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang dikirimkan oleh Kepolisian Daerah Bengkulu ke Kejaksaan.
Menurut salah satu pengacara Novel, Haris Azhar, SPDP atas Novel itu baru dikirimkan pada 8 Oktober 2012 dan diterima oleh Kejaksaan Negeri Bengkulu 12 Oktober 2012. Sedangkan Novel akan ditangkap pada 5 Oktober 2012.
"Tidak bisa menangkap dulu baru melaporkan," kata Haris ketika dihubungi Tempo, Sabtu, 27 Oktober 2012. Polisi harusnya melakukan prosedur yang benar. Ia mengatakan ini menjadi bukti kepolisian berencana untuk mengkriminalisasi kliennya.
Haris berencana menemui Komisi Nasional Hukum dan HAM mengenai bukti ini. Senin, 29 Oktober 2012, para pengacara akan bertemu dengan Wakil Ketua Komisi Nur Kholis. Novel sebagai penegak hukum, kata Haris, harus mendapatkan perlindungan.
Novel dituduh melakukan kekerasan yang menyebabkan pencuri sarang burung walet meninggal pada 2004. Waktu itu, ia menjabat Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Daerah Bengkulu. Kepada Tempo, Novel mengaku tak ada di tempat kejadian saat peristiwa itu terjadi. Ia justru yang meminta anak buahnya membawa korban tembak ke rumah sakit. Sedangkan polisi berdalih keluarga korban baru menuntut.
Alasan itulah yang menyebabkan sejumlah personel Polda Bengkulu dan Polda Metro Jaya mendatangi kantor KPK, 5 Oktober lalu. Mereka berencana menciduk Novel Baswedan, penyidik KPK yang sedang menangani kasus dugaan korupsi simulator SIM.
Air keras disiramkan ke wajah Novel Baswedan. Patut diduga, otak pelakunya berkeinginan agar Novel roboh dan KPK rapuh. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Novel Baswedan adalah ikon di KPK. Karena itu, menyerang Novel berarti pula menggempur KPK.