Peringatan hari Ashura di Iran oleh para pengikut Syiah. aftertheprophet.com
TEMPO.CO, Jakarta - Persaingan perebutan kekuasaan antara kelompok Sunni (ahlus sunah) dan Syiah di Nusantara, terutama di Aceh, ternyata memiliki dampak positif. Persaingan itu membuat perkembangan ilmu pengetahuan meluas.
“Sehingga Aceh dalam abad ke-XVII merupakan gudang ilmu pengetahuan di Asia Tenggara,” tulis Prof A. Hasjmy dalam buku Syi’ah dan Ahlussunnah: Saling Rebut Pengaruh dan Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara yang terbit 1983.
Perebutan kekuasaan antara kelompok Sunni dan Syiah sudah mulai terjadi sejak Kerajaan Peureulak (840-1292) di Nanggroe Aceh Darussalam. Selain gonjang-ganjing politik, perebutan kekuasaan itu juga menghasilkan perbedaan pendapat yang dituangkan dalam buku.
“Zaman ini telah banyak dikarang kitab-kitab ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang, terutama dalam bidang hukum, tasawuf, dan filsafat, baik dalam bahasa Melayu, Arab, dan Aceh,” tulis A. Hasjmy.
Menurut A. Hasjmy, perkembangan ilmu di Aceh terus berkembang pesat di abad XIX. Pada masa ini, muncul nama ulama terkenal beraliran Syiah, seperti Hamzah Fansury, Syamsuddin Sumatrany, Nurruddin Ar-Raniry, Burhanuddin, dan Ismail bin Abdullah.
Penyerangan terhadap warga Syiah di Sampang pada 26 Agustus 2012 meletupkan kembali selentingan soal perbedaan Syiah dengan Sunni. Menteri Agama Suryadharma Ali dan organisasi massa, seperti Nahdlatul Ulama, menegaskan, konflik di Sampang bukan persoalan antara Sunni dan Syiah.
Sejak kematian pemimpin kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur, Santoso alias Abu Wardah, pada 18 Juli lalu, banyak pihak menilai hal itu sebagai keberhasilan ikhtiar negara menumpas akar-akar terorisme. Namun mungkinkah peristiwa tertembaknya seseorang dapat menjelaskan bahwa gerakan radikalisme di Indonesia telah berakhir?