TEMPO Interaktif, Jakarta - Selama Januari hingga Maret 2010, Kepolisian Republik Indonesia telah menangkap 141 tersangka dari 136 kasus pembalakan liar se Indonesia.
"Tapi UU Kehutanan (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999), subtansinya justru kontradiktif, kami masih menemui hambatan perbedaan presepsi antara criminal justice system antara pasal-pasalnya," ujar Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia Ito Sumardi dalam diskusi di Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu (28/4)
Tercatat dari tahun 2005 hingga kwartal 2010, 15.227 tersangka pembalakan liar dengan barang bukti sebanyak 1.127.639,36 meter kubik kayu. Sekitar 154.774, 27 meter kubik kayu yang dijadikan barang bukti sudah dilelang. Namun, Ito menguraikan, akibat adanya perbedaan interpretasi kasus-kasus tersebut banyak yang terbengkalai. Adanya kebijakan internal Kejaksaan Agung tentang surat pemberitahuan dimulainya penyidikan yang harus diserahkan Badan Reserse ke Kejaksaan menyebabkan proses penyidikan kurang efektif.
Pihaknya berharap peraturan dibawah Undang-Undang Kehutanan diakomodir agar penyidikannya bisa cepat dan tepat. Selama ini, Ito mengakui, Kepolisian kerap menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada kasus pembalakan liar. "Jadi pembalak tersebut kenanya pasal pencurian, penadahan, penipuan dokumen," ujar Ito.
Akibatnya cukong-cukong kayu mudah berkelit. "Mereka menggunakan masyarakat adat untuk mengambil kayu, masyarakat yang awalnya memotong dengan kampak, kini diberi gergaji listrik sehingga mampu memotong hingga sepuluh batang per hari," kata Ito.
Situasi ini diperburuk dengan adanya sindikasi pelaku dengan sejumlah oknum. Kepolisian sudah memetakan sembilan daerah yang rawan pembalakan liar. Semebilan daerah itu antara lain, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Papua.
Dianing Sari