"Tidak perlu kader dalam jumlah besar, yang penting kader cerdas dan kreatif membujuk pemilih," katanya dalam Seminar Nasional "Partai Golkar Menjawab Tantangan Masa Depan" di kantr Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, Kamis (29/10).
Dia mengatakan, kondisi masyarakat telah berubah dibandingkan tahun 1950-1960 an. "Masyarakat semakin cair, individu semakin menguat dan garis ideologi makin memudar," katanya. Bahkan partai politik pun, lanjutnya, juga mencair sulit membedakan partai satu dan lainnya. "Sehingga pemilih mudah pindah ke sana dan ke sini. Partai kader dan massa sudah berubah," ujarnya. Menurutnya, tidak perlu memperbesar partai dan menggelembungkannya, "cukup dengan kader kreatif membujuk pemilih."
Pemilih, kata dia, sudah bergeser dari pemilih tradisional menjadi pemilih rasional. Pemilih akan lebih memperhatikan apa yang ditawarkan partai politik. "Tidak ada lagi dogma-dogma. pemilih pingin dirayu dan dibujuk," katanya, "Dulu memilih Golkar atau PDIP, nanti belum tentu." Dia mengatakan, jumlah kader cukup dibatasi sekitar 1-2 juta orang. Kader bergerak untuk mencerahkan rakyat, menyampaikan program kesejahteraan, membangkitkan kesadaran politik dan menggerakkan menjadi saksi. "Lainnya menggunakan media massa," katanya.
Aburizal menyatakan kini media sudah memiliki jangkauan cukup luas. Dia memprediksi hampir separuh warga Indonesia mengakses televisi. "Akan lebih efektif dibandingkan pengerahan massa," katanya. Bahkan dalam hitung-hitungan keuangan akan lebih hemat.
Dia mencontohkan dengan beriklan di televisi pada prime time akan disaksikan sekitar jutaan pemilih dengan ongkos 50 jutaan. "Dengan iklan per kepala dihitung Rp 5-10, dengan pengerahan massa per kepala Rp 50 ribu," katanya. Hal yang sulit dilakukan jika dengan pengerahan massa. Selain itu, pemilih juga dapat mengerti visi dan misi partai.
Aburizal menyiapkan permanen campaign. Hal ini akan disebarkan melalui media massa, dan media yang mulai populer melalui facebook dan twitter. "Juga gunakan perangkat lain. Sekarang kita harus punya twitter," katanya. Dia mengakui dalam pemilihan legislatif 2009, Golkar telah kehilangan 9,5 juta pemilih dibandingkan pemilihan 2004. Pada pemilihan legislatif 2014, Golkar menargetkan 30 persen suara. "Pemilihan ke depan harus mengingkat dua kali lipat," katanya.
Golkar pun juga menyiapkan strategi personalisasi. Hal ini diterapkan dengan menilik figur yang kuat bisa mendokrak popularitas partai seperti fenomena SBY dan Partai Demokrat. "Tidak boleh ada lebih dari satu kapten," katanya. Namun untuk pemilihan presiden dan kepala daerah tidak mesti Ketua Umum atau Ketua DPD. "Pemilihan harus berdasarkan survei calon terpopuler," katanya.
Sedangkan pengamat politik Indo Barometer, Mohammad Qodari mengingatkan dengan paradigma baru media massa menjadi titik tumpu dalam mengiring pemilih belum tentu efektif. Dia mencontohkan Prabowo Subianto dan Partai Gerindra yang setiap waktu nongol di televisi tapi hanya meraup 4 persen suara dalam pemilihan legislatif 2009. "Televisi penting, tapi bukan segala-galanya. Hasilnya belum tentu maksimal," ujarnya.
EKO ARI WIBOWO