Mahasiswa Unitomo Desak Kejaksaan Penjarakan Mantan Rektor
Kamis, 18 Juni 2009 17:05 WIB
TEMPO Interaktif, Nganjuk: Belasan mahasiswa Universitas Dr Soetomo Surabaya mendatangi kantor Kejaksaan Negeri Nganjuk. Mereka mendesak Kejaksaan segera menangkap mantan Rektor Unitomo Prof. Santoso S Hamijoyo karena terbukti memalsukan pendirian yayasan kampus tersebut.
Mahasiswa yang datang mengendarai motor langsung melakukan orasi di depan kantor Kejaksaan Negeri Nganjuk. Mereka mengecam kinerja aparat yang dinilai lamban dalam melaksanakan putusan Mahkamah Agung yang menenangkan gugatan pengurus Yayasan Pendidikan Cendekia Utama.
Koordinator aksi Mohammad Hasan mengatakan sengketa ini berawal ketika terjadi perselisihan antara yayasan dengan Santoso Hamijoyo pada tahun 2002 lalu. Saat itu Santoso yang masih menjabat sebagai rektor dengan sepihak mendirikan kepengurusan Yayasan Pendidikan Cendekia Utama tandingan. Hanya saja, yayasan tersebut didirikan di Nganjuk dengan akta notaris untuk menghindari polemik di Surabaya.
Atas perbuatan itu, pihak yayasan melaporkannya ke polisi dan ditangani Kejaksaan Negeri Nganjuk. Setelah melalui proses hukum yang panjang, Mahkamah Agung akhirnya mengeluarkan putusan untuk memenangkan Yayasan Pendidikan Cendekia Utama dan menjatuhkan pidana penjara kepada Santoso Hamijoyo selama satu tahun enam bulan.
Hukuman yang sama dijatuhkan kepada dua pengurus yayasan tandingan yakni Wahyudi Noor Saleh dan Dudik Djajasidarta. Keduanya dihukum penjara satu tahun tiga bulan atas pendirian yayasan palsu tersebut. “Kami minta Kejaksaan Nganjuk segera menghukum mereka. Ketidakjelasan kasus ini mempengaruhi legalitas ijasah kami,” kata Hasan dalam orasinya, Kamis (18/6).
Desakan yang sama disampaikan kuasa hukum yayasan Bachrul Amiq. Pengacara yang juga Pembantu Rektor Universitas Kadiri ini menyayangkan sikap Kepala Kejaksaan Nganjuk Anwarudin yang dianggap membelok-belokkan hukum. Sikap lamban Kajari ini dikhawatirkan akan membuka kesempatan bagi kuasa hukum tergugat untuk melakukan negosiasi dengan aparat.
“Saya melihat sendiri kuasa hukum itu mengajukan Peninjauan Kembali dan penangguhan penahanan. Masak Kajari bisa disetir seperti ini,” kecamnya.
Menanggapi desakan itu Anwarudin justru melemparkan kasus itu ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Meski tinggal melaksanakan putusan MA, menurut dia kasus ini telah diambilalih Kejati dengan alasan melibatkan perguruan tinggi. “Saya sudah melakukan konsultasi dengan Kejati, dan hasilnya mereka memegang kendali putusannya,” kata Anwarudin.
Ketua LSM Masyarakat Peduli Anti Korupsi (Mapak) Nganjuk Supriyanto mengatakan sikap Kejaksaan Nganjuk dalam menyelesaikan perkara korupsi patut dipertanyakan. Sebelumnya lembaga tersebut kerap menghentikan perkara korupsi dengan alasan yang tidak jelas. Diantaranya adalah penghentian kasus pemotongan kompensasi proyek pelurusan Sungai Widas di Desa Sumberejo, Kecamatan Gondang.
Kasus yang menyeret oknum Badan Pertanahan Nasional pada pertengahan tahun 2008 itu tiba-tiba menguap tanpa kejelasan. Padahal warga yang melapor akibat pemotongan kompensasi itu cukup banyak. Mereka mengaku menyerahkan hampir sebagian nilai kompensasi kepada petugas BPN untuk dibagikan kepada perangkat desa, camat, hingga anggota Dewan. “Rezim jaksa seperti ini sudah harus diakhiri,” kata Supriyanto.
HARI TRI WASONO