Komandan peleton pasukan Intai Amfibi Marinir di Sebatik, Letnan Dua Denny Aprianto, mengungkapkan bahwa latihan perang itu telah memetakan posisi strategis jika terjadi perang sesungguhnya. "Latihan kami sudah difokuskan ke perang seiring meningkatnya konflik RI-Malaysia di perairan Ambalat," kata Denny melalui telepon kemarin.
Satuan Tugas Ambalat IX Marinir di Sebatik berada di bawah komando Yonif 3 Marinir Surabaya, berkekuatan 130 anggota, termasuk satu tim pasukan Intai Amfibi.
Denny mengatakan, dengan latihan intensif, seluruh pasukan telah siap berperang. "Kami sudah dapat perintah atasan, tingkatkan kewaspadaan," ujarnya.
TNI Angkatan Laut menambah dua kapal perang lagi untuk memperkuat armada yang berpatroli di perairan yang berbatasan dengan Malaysia, dan menarik pulang kapal Republik Indonesia (KRI) Hasanuddin ke pangkalan di Surabaya. Dengan demikian, kapal yang disiapkan menjadi enam buah, termasuk KRI Untung Suropati, KRI Rimau, KRI Solo Pari, dan KRI Sultan Nuku, yang sejak beberapa waktu yang lalu bertugas di sekitar Ambalat.
Menurut Kepala Dinas Penerangan Koordinator Armada Indonesia Kawasan Timur Letkol Toni Syaiful, penarikan ini agar kapal yang beroperasi tetap bisa menjaga kemampuan berperang. "Kami tetap mengoperasikan enam sampai tujuh kapal perang," katanya.
Kemarin pukul 14.00 wita, kapal Malaysia, KD Baung 3509, kembali masuk perairan Ambalat sejauh dua mil laut. Dalam hitungan menit, Baung dapat dihalau KRI Suluh Pari dan pesawat Nomad 834 milik TNI AL. "Kami upayakan selalu hadir di laut dengan berpatroli, pokoknya kami jaga terus," kata Toni.
Di Jakarta, Ketua Fraksi PDI Perjuangan di DPR, Tjahjo Kumolo, meminta pemerintah tegas dalam menyelesaikan sengketa Blok Ambalat. Menurut dia, pemerintah perlu menyampaikan nota protes keras ke Malaysia terkait dengan pelanggaran batas perairan di Ambalat. "Dubes Indonesia dipulangkan dan Dubes Malaysia disuruh pulang. Sebelum masalahnya clear, tidak perlu duta besar," kata Tjahjo.
Ketua Fraksi Partai Demokrat Syarifuddin Hasan membantah tuduhan bahwa pemerintah lamban menyelesaikan kasus Ambalat. "Bisa saja Presiden menyatakan perang, tapi apakah DPR dan rakyat setuju dan kita sudah siap?" katanya.
Menurut Syarifuddin, jika Presiden menyatakan perang, pemerintah harus menyiapkan anggaran sekitar Rp 20 triliun per bulan. Pengamat politik Ikrar Nusa Bhakti mengingatkan pemerintah agar tidak memandang rendah kasus Ambalat. "Jangan sampai nasib Sipadan dan Ligitan terjadi lagi," katanya.
FIRMAN HIDAYAT | EKO ARI WIBOWO