TEMPO.CO, Padang - Masyarakat Kepulauan Mentawai menolak izin hutan tanaman industri (HTI) seluas 20.110 hektare kepada PT Biomass Andalan Energi di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Puluhan masyarakat dan mahasiswa Mentawai pun mendatangi Kantor Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatra Barat untuk menyampaikan penolakan tersebut.
Cornelius Mairang, warga Mongan Poula, salah seorang demonstran mengatakan, masuknya perusahaan penebangan kayu sejak 1970-an telah memperparah banjir di desanya. "Sebelumnya, hanya banjir dalam sekali lima tahun, tapi sekarang seminggu sampai lima kali dilanda banjir hingga atap rumah," katanya, Kamis, 14 September 2017.
Baca: Menteri Saleh: Maksimalkan Potensi Industri Olahan Gambir
Menurut dia, keberadaan perusahaan hutan itu pun cenderung lebih banyak merugikan dibanding dengan keuntungan. Dia menilai perusahaan hanya mengeruk kekayaan alam Mentawai. "Sebagai orang Mentawai, keberadaan perusahaan kayu yang sudah-sudah itu menjadi trauma bagi saya," ucap mantan Kepala Desa Mongan Poula itu. Mongan Poula adalah salah satu desa yang terkena HTI.
Demonstran lain dari Saibi, Siberut Tengah, Esmat Sakulok, mengatakan kampungnya dan tanah orang tuanya termasuk lokasi HTI. “Banjir jangan ditanya lagi karena sudah sangat sering. Apalagi kalau ditambah dengan HTI ini, saya sangat tidak setuju. Ini juga menghancurkan budaya Mentawai dengan cepat," ujarnya.
Baca: Hutan Sagu, Kunci Kesejahteraan Indonesia Bagian Timur
Sebab, menurut dia, selama ini, warga Mentawai yang ingin mengambil satu batang pohon saja banyak ritualnya. "Kalau perusahaan dengan buldozer saja menebang pohon, di mana lagi kami akan hidup? Di sana ada sagu untuk makanan pokok dan hasil hutan,” tuturnya.
Warga yang berdemonstrasi pun meminta pemerintah menghentikan rapat pembahasan analisis dampak lingkungan (amdal) yang sedang berlangsung di kantor dinas. Selain itu, meminta dinas tak memberikan izin bagi perusahaan untuk membangun HTI.
Pelaksana tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sumatera Barat, Siti Aisyah, yang menemui pengunjuk rasa, mengatakan pihaknya tidak akan berani memberikan izin yang tidak prosedural karena berujung penuntutan di pengadilan. Berkaitan dengan proses amdal, dia berujar sudah melakukan tahapan dengan kehati-hatian.
Namun dinasnya harus terus melakukan sidang amdal karena semua orang punya hak mengajukan investasi. “Semua orang punya hak mendapatkan kepastian hukum. Nah, kalau pemerintah melaksanakan. Kalau ini tidak kami laksanakan, perusahaan bisa menuntut kami karena tidak melaksanakan tugas,” ujarnya.
PT Biomassa Andalan Energi akan mendapat konsesi hutan seluas 20.110 hektare di Siberut Tengah dan Siberut Utara. Sebelumnya, kawasan itu merupakan bekas hak pengusahaan hutan alam (HPHA) Koperasi Andalas Madani Universitas Andalas yang berhenti beroperasi pada 2007. Setelah selama sembilan tahun dari aktivitas penebangan hutan di Siberut Tengah pada 11 Januari 2016, pemerintah kembali membuka peluang untuk perusahaan HTI seluas 20.110 hektare di bekas HPHA Universitas Andalas itu.
Sebelumnya, Direktur PT Biomas Sumber Energi Syamsu Rizal Arbi mengatakan berencana menanam kaliandra merah dan akasia yang memiliki kalori tinggi untuk dijadikan wood pellet sebagai sumber tenaga listrik. "Hutan yang ada saat ini akan di-land clearing dan akan diganti dengan kaliandra merah," ucapnya.
Untuk tahap awal, 9.000 ribu hektare lahan akan ditanami kaliandra merah. Setiap hektare akan menghasilkan 300 ton wood pellet. Dalam 5.000 hektare kaliandra akan menghasilkan listrik 10 megawatt. Wilayah yang akan terkena HTI berada di Kecamatan Siberut Tengah dan Siberut Utara serta meliputi tujuh desa, yaitu Desa Saibi Samukop, Cempungan, Sirilogui, Saliguma, Bojakan, Sotboyak, dan Mongan Poula.
FEBRIANTI