TEMPO.CO, Jakarta - Pimpinan Pusat Muhammadiyah mendesak Komite Hadiah Nobel untuk mencabut penghargaan Nobel Perdamaian bagi Aung San Suu Kyi. Bekas oposisi yang ini menjadi penasehat khusus Pemerintah Myanmar itu dianggap membiarkan kekejaman terhadap etnis Rohingya oleh Pemerintah Myanmar terus berlangsung.
Meski tak menjabat secara formal dalam struktur pemerintah, Aung San Suu Kyi dipercaya sebagai pemimpin de fakto Myanmar saat ini. “Aung San Suu Kyu justru memperburuk kedaaan,” kata Ketua PP Muhammadiyah Bahtiar Effendi dalam pernyataan resmi, Jumat, 1 September 2017.
Baca juga: Surat Terbuka Peraih Nobel Kritik Aung San Suu Kyi Soal Rohingya
Dalam pernyataannya, Muhammadiyah meminta masyarakat internasional untuk turut menekan Pemerintah Myanmar agar menghentikan pembantaian terhadap kaum Rohingya. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diminta turun tangan menghentikan krisis kemanusiaan Rohingya.
Kepada Pemerintah Bangladesh, PP Muhammadiyah juga meminta negara tersebut membuka perbatasan untuk alasan kemanusiaan. "PBB menyebut Rohingya sebagai etnis paling tertindas di muka bumi. Mereka tertolak di Myanmar dan tertindas di Bangladesh. Karena ketidakjelasan identitas ini akhirnya akses mereka terhadap pendidikan, kesehatan, dan tempat tinggal layak sangat terbatas," ucap dia.
Baca juga: Kedubes Myanmar Akan Didatangi Pengunjuk Rasa Terkait Rohingya
Muhammadiyah juga meminta Pemerintah Republik Indonesia untuk mempertimbangkan penyediaan kawasan bagi pengungsi dari etnis Rohingya. Bahtiar Effendi mengatakan upaya tersebut dianggap bisa membantu etnis Rohingya yang kini tengah mendapat persekusi dari pemerintah Myanmar.
Cara ini pernah dilakukan Pemerintah Indonesia terhadap pengungsi Vietnam beberapa tahun silam. Pemerintah Indonesia menyediakan kawasan Pulau Galang, Batam sebagai tempat menampung para pengungsi akibat Perang Vietnam.
Baca juga: NU dan Muhammadiyah Desak PBB Hentikan Krisis Rohingya
"Kami juga meminta pemerintah mengevaluasi kebijakan diplomasi yang selama ini diterapkan kepada Myanmar karena tidak terbukti menghentikan Myanmar melakukan praktik Genosida terhadap etnis Rohingya," kata Bahtiar.
Bahtiar mengatakan, krisis Myanmar jika dibiarkan bisa mengancam stabilitas keamanan di kawasan Asia Tenggara karena akan menumbuhkan perlawanan terhadap Myanmar, perdagangan manusia, dan imigran ilegal yang bisa membanjiri kawasan.
Baca juga: 23 Jasad Rohingya Ditemukan Terdampar di Pantai Bangladesh
PP Muhammadiyah juga meminta ASEAN untuk menekan Myanmar di antaranya lewat pertimbangan pembekuan keanggotan Myanmar dari ASEAN. Karena besarnya jumlah korban, ASEAN diharapkan tidak mengedepankan prinsip non-intervensi dan menggantinya dengan ikut bertanggung jawab dalam menyelesaikan krisis ini.
Aktivis HAM seluruh dunia juga diminta untuk ikut ambil bagian dalam memperhatikan krisis Rohingya. "Dalam hal ini, PP Muhammadiyah bersedia memimpin untuk menggalang bantuan dan dukungan bagi etnis Rohingya," kata dia.
Baca juga: Militer Myanmar Bunuh Kaum Rohingnya Termasuk Bayi
PP Muhammadiyah juga mendesak Mahkamah Kejahatan Internasional untuk mengadili pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam kasus ini.
Berdasarkan pantauan PP Muhammadiyah dalam satu pekan terakhir 3.000 etnis Rohingya mengungsi ke perbatasan Bangladesh untuk menghindar dari kebrutalan militer Myanmar. Jumlah korban mencapai 800 orang baik dari perempuan dan anak-anak.
ANTARA