TEMPO.CO, Yogyakarta - Mahkamah Konstitusi melalui laman resminya merilis bahwa lembaganya telah mengabulkan gugatan atas pasal 18 ayat (1) huruf m yang terdapat di dalam Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta. Putusan MK bernomor 88/PUU_XIV/2016 itu diterbitkan Kamis, 31 Agustus 2017.
Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X tak mempermasalahkan dikabulkannya gugatan itu. “Ya memang tak boleh ada diskriminasi, negara tak boleh membedakan laki-laki dan perempuan (untuk menjadi gubernur),” ujar Sultan di sela menghadiri perayaan kenduri peringatan lima tahun UU Keistimewaan di Pasar Beringharjo, Kamis siang, 31 Agustus 2017.
Pasal 18 ayat (1) huruf m UU Keistimewaan DIY digugat sejumlah aktivis perempuan sejak 2016 . Sebab pasal itu dinilai diskriminatif terhadap kaum perempuan untuk memiliki hak politik dan bertentangan dengan semangat Undang-Undang dasar 1945.
Baca: Hari Ini, 300 Tahun Lalu Sultan Hamengku Buwono I Lahir
Dalam pasal 18 itu menyebut bahwa calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur DIY adalah warga negara Republik Indonesia yang sudah memenuhi syarat dan menyerahkan daftar riwayat hidup. Daftar riwayat hidup yang diserahkan harus memuat riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak.
Kata ‘istri’ dalam daftar riwayat hidup itu kemudian dipersoalkan dan akhirnya digugat. Sebab, secara tak langsung merujuk bahwa calon gubernur dan wakil gubernur harus laki-laki.
Sultan menuturkan dengan dikabulkannya gugatan atas Pasal 18 ayat 1 huruf m itu menunjukkan bahwa konstitusi telah ditegakkan. “Konstitusi kan bunyinya siapa pun bisa (jadi gubernur),” ujar Sultan.
Simak: Sultan HB X Sampaikan Visi-Misi sebagai Calon Gubernur DIY
Sultan meminta para pihak yang selama ini berselisih terkait pasal 18 termasuk para saudara-saudaranya di lingkungan keraton bersedia mengakhiri polemik. “Keputusan MK itu ya sudah, itu ya itu, sudah keputusan final yang harus dihormati,” ujarnya.
Selama ini sejumlah kerabat dan saudara Sultan Hamengku Buwono X di lingkungan keraton tak setuju jika pasal 18 UU Keistimewaan dihapus. Sebab, jika pasal itu dihapus, maka Keraton Yogya berpeluang dipimpin raja perempuan mengingat kedudukan gubernur dan wakil gubernur DIY menggunakan mekanisme penetapan.
Lihat: Pengisian Jabatan Gubernur DIY, DPRD Tolak Akui Sabda Raja
Padahal yang berhak ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur sesuai UU Keistimewaan adalah raja keraton bertahta dan raja Puro Pakualaman. Jika benar terjadi ada raja yang juga gubernur perempuan, maka hal itu bertentangan dengan paugeran atau adat istiadat keraton yang sejak Sultan Hamengku Buwono I hingga Hamengku Buwono X diiisi seorang laki-laki. Adanya raja perempuan disebut juga akan mengakhiri kesejarahan keraton sebagai kerajaan Mataram Islam.
Namun Sultan menyatakan keputusan MK yang mengabulkan gugatan pasal 18 itu tak ada hubungannya dengan paugeran keraton. “Paugeran itu yang membuat siapa? Keraton itu siapa? Abdi dalem? Bukan kan, kan raja? Ya sudah jelas kan semuanya,” ujarnya.
PRIBADI WICAKSONO