TEMPO.CO, Jakarta - Tersangka anggota sindikat penyedia jasa konten kebencian Saracen, Sri Rahayu Ningsih, 32 tahun, membantah tuduhan yang dialamatkan polisi kepadanya. Dia mengklaim tidak terkait dengan Saracen dan sudah mengkritik melalui media sosial sejak zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY.
"Saya mulai mengkritik itu dari zaman SBY. Itu mulai tahun 2008. 2008 saya sudah punya akun tapi pakai nama palsu. Cuma 2008 itu kan saya masih di Hong Kong, jadi saya enggak begitu aktif dalam politik," kata Sri kepada Tempo saat jumpa pers kasus Saracen di Gedung Divisi Humas Polri, Jakarta, Rabu, 23 Agustus 2017.
Baca juga: Kantor Media Online Saracen di Pekanbaru Diduga Fiktif
Sri ditangkap Tim Satuan Tugas Patroli dari Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri pada 5 Agustus 2017 di Cianjur, Jawa Barat. Selain Sri, Satgas juga menangkap JAS (32) yang diduga sebagai ketua Grup Saracen. JAS ditangkap pada 7 Agustus 2017 di Pekanbaru, Riau. Selain JAS dan Sri, Muhamad Faizal Tanong (43), ditangkap pada 21 Juli 2017 di Koja, Jakarta Utara.
Sri menambahkan bahwa akun Facebook-nya dengan nama palsu pada 2008 sudah mati. Kemudian pada Februari 2015, dia membuat akun Facebook lagi dengan nama Sri Rahayu Ningsih, yang kemudian membuatnya ditangkap oleh kepolisian.
Dia menuturkan bahwa akun Facebook miliknya ini sering mati hidup. Karena itu dia meminta bantuan kepada JAS. "Saya kenal beliau dari Rofiacman di Riau, beliau (Rofiacman) orang Padang, kan saya pernah ada hubungan, saya minta tolong sama beliau kalau akun saya mati," kata Sri. JAS diduga bertugas untuk merekrut para anggota melalui berbagai unggahan yang bersifat provokatif menggunakan isu SARA.
Sedangkan dalam keterangan pihak kepolisian, Sri merupakan pengurus Saracen. Dia dituduh memiliki peran sebagai koordinator grup wilayah dalam kelompok Saracen. Polisi menyebut Sri telah melakukan ujaran kebencian melalui status pribadi atau membagikan ulang status dari anggota lain Saracen.
FAJAR PEBRIANTO