TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Center for Regional Policy Study (CRPS) menggelar perluasan ide hasil survei anti korupsi 2017 di Kota Samarinda, Senin, 14 Agustus 2017. Untuk di Kalimantan Timur, ICW menilai potensi korupsi di sektor sumber daya alam (SDA) cukup besar, tapi sulit diungkap.
“Biasanya, di luar kasus suap perizinan, ya, itu. Misalnya begini, negara seharusnya bisa dapat sekian, tapi fakta yang didapat justru beda atau kurang karena dikorupsi. Itu kan sulit dipastikan (angka kerugiannya), makanya kita sebut potensi,” kata anggota Badan Pekerja ICW, Lais Abid di Samarinda, Senin, 14 Agustus 2017.
Baca: ICW Buka Sekolah Antikorupsi Angkatan Ketiga
Abid menambahkan potensi korupsi SDA lebih sulit dibandingkan dengan korupsi pengadaan atau pekerjaan proyek pembangunan. Pengerjaan jembatan, misalnya, kata dia, jika dikorupsi, akan mudah diketahui nominalnya.
Dari pengamatan ICW, indikasi proses korupsi di sektor SDA dilakukan melalui suap perizinan atau melakukan pembayaran di luar ketetapan resmi. Adanya potensi suatu pihak melakukan pembayaran di luar ketentuan karena ingin urusan perizinan dipercepat. Bahkan ada juga yang memaksa ingin mendapatkan izin walaupun tidak memenuhi syarat dan ketentuan.
“Contoh kasus di Sulawesi tengah adalah Bupati Buol Amran Batalipu. Seharusnya, pemerintah daerah itu tidak boleh keluarkan izin kebun sawit, tapi perusahaan menyuap Bupati (Amran),” ujarnya.
Abid menilai idealnya kasus korupsi di pertambangan atau SDA secara umum bisa juga dijerat dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dalam hal adanya kerugian negara.
“Namun itu masih sedikit sekali (yang menjerat kasus korupsi SDA berakibat adanya kerugian negara). Baru pertama kali itu kasus Gubernur Sulawesi Tenggara (saat dijabat Nur Alam) yang kasus tambang bukan suap, tapi kerugian negara,” ucapnya.
Sedangkan dari hasil survei nasional antikorupsi 2017 yang dilakukan ICW, 87 persen masyarakat menilai hampir tidak ada perbaikan pada korupsi selama satu tahun terakhir. Survei tersebut dikerjakan sejak 5 April hingga 19 Mei 2017 dengan jumlah responden 2.235 orang yang tersebar di 34 provinsi dan 177 kabupaten/kota, juga mencakup 212 desa atau kelurahan.
“Kalimantan Timur juga ada, tapi ini hasil skala nasional. Lalu kita sebarkan juga ke Kalimantan Timur,” tuturnya.
Dari hasil survei tersebut, responden menilai tingkat sektor tertinggi korupsi terjadi saat mendaftar menjadi pegawai negeri sipil, yaitu mencapai 56 persen, disusul polisi 50 persen, pengadaan barang dan jasa untuk pemerintah 48 persen, pengadilan 45 persen, implementasi anggaran oleh pemerintah 44 persen, universitas 27 persen, perawatan kesehatan masyarakat 27 persen, serta mengurus kelengkapan administrasi publik 25 persen .
Untuk tingkat persepsi adanya tindak korupsi saat berhubungan dengan pihak administrasi dan guru merupakan yang paling dipercaya masyarakat karena hanya 2,3 persen responden yang meyakini adanya tindak pidana korupsi dalam hal tersebut.
Menurut Abid, ada beberapa hal yang menyebabkan masyarakat menilai proses pendaftaran CPNS dinilai paling berpotensi adanya tindak pidana korupsi. “Pendaftaran CPNS dinilai banyak pungutan liar. Bukan hanya itu, adanya pihak yang mengaku sebagai panitia rekrutmen dan melakukan penipuan juga menjadi salah satu faktornya,” katanya.
SAPRI MAULANA