Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Tokoh 17 Agustus: Persiapan Menuju Misi Pamungkas, Everest!

image-gnews
Tokoh 17 Agustus. Pendaki wanita Mathilda Dwi Lestari (kiri) dan Fransisca Dimitri Inkiriwang. TEMPO/Prima Mulia
Tokoh 17 Agustus. Pendaki wanita Mathilda Dwi Lestari (kiri) dan Fransisca Dimitri Inkiriwang. TEMPO/Prima Mulia
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Fransiska Dimitri Inkiriwang dan Mathilda Dwi Lestari, berhasil menorehkan prestasi sebagai dua perempuan pertama Indonesia yang berhasil menjejakkan kaki di Puncak Gunung Denali, Alaska, Amerika Serikat. Kini, anggota The Women of Indonesia’s Seven Summits Expedition Mahitala-Unpar (WISSEMU) ini bersiap-siap menyelesaikan misi terakhirnya, mendaki gunung tertinggi di dunia, Everest, di perbatasan Nepal dan Tibet.

Baca: Tokoh 17 Agustus: Dua Srikandi Mendaki Tujuh Puncak Dunia

Rencananya, ekspedisi pamungkas itu akan dimulai sesuai musim pendakian Everest pada awal April. Waktu pencapaian puncak sekitar pertengahan Mei. Selama 1,5 bulan mereka akan hidup dan tinggal di Everest bersama pendamping warga lokal (sherpa). “Taksiran biaya pendakian ke Everest sekitar Rp 1,8 miliar per orang,” kata Deedee, panggilan akrab Fransiska Dimitri Inkiriwang, saat dijumpai di kampusnya, Ahad, 6 Agustus 2017.

Sebagai pendaki yang masih tercatat sebagai mahasiswa semester akhir jurusan Hubungan Internasional, Universitas Katolik parahyangan, Bandung, Jawa Barat, keduanya juga dikejar kewajiban lain. Duo pendaki tersebut harus kembali masuk kampus untuk segera menyelesaikan skripsinya.

Deedee mengatakan sejak terpilih sebagai anggota tim WISSEMU, mereka siap menerima konsekuensi tidak bisa cepat lulus menjadi sarjana. Alasannya, mereka harus mempertahankan status mahasiswi sepanjang pendakian Seven Summits berjalan. “Dulu masa ekspedisinya diperkirakan dua tahun, tapi bisa lebih,” ujarnya.

Rektor memberikan dispensasi terkait absensi kuliah. Meskipun waktu pendakian dirancang ketika liburan semester, waktu perkuliahan ada yang terlewat juga. “Absen nggak dihitung, ada surat dari Rektorat ini tugas negara. Kalau ujian kami tidak pernah lewat,” kata Mathilda.
Pendaki wanita Mathilda Dwi Lestari (kiri) dan Fransisca Dimitri Inkiriwang saat berlatih di kampus Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. TEMPO/Prima Mulia.

Di sela-sela kesibukan menyelesaikan skripsinya, Deedee dan Mathilda pun merancang pola latihan fisik untuk pendakian Gunung Everest. Pola latihan fisik yang ketat hingga pencapaian satu per satu target puncak gunung membuat keseharian keduanya berubah. Salah satunya, mereka harus melupakan sejenak urusan kecantikan dan merawat tubuh. “Mau ke salon jadi percuma, besok sudah latihan lagi,” kata Deedee.

Untuk menjaga kulit tetap aman dari sengatan terik matahari, mereka biasanya memakai sunblock. Lucunya, selama ini mereka hanya menganggap sunblock itu sebagai bagian dari kosmetika tubuh. Fungsi penting sunblock pada pendakian baru mereka peroleh saat di Gunung Denali, Alaska, Amerika Utara.

Pemandu gunung mereka yang terkenal ketat soal keselamatan, memberitahu fungsi sunblock untuk melindungi dari sengatan matahari hingga kulit terasa ‘terbakar’ (sunburn). Kondisi itu bisa membuat kulit menjadi lemah dan rawan terkena frostbite atau serangan udara sangat dingin yang mematikan jaringan anggota tubuh seperti jemari. Dampaknya, pendaki bisa kehilangan jari atau sebagian karena harus diamputasi. “Biasanya pakai demi kecantikan, baru tahu safety-nya seperti itu,” kata Deedee.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pola latihan fisik juga membuat kegiatan harian mereka teratur. Bangun pagi, latihan fisik, makan siang tidak boleh telat, sore harinya istirahat. Ajakan teman untuk kongkow malam hari terpaksa ditolak. “Sekarang sudah nggak kuat karena pagi sudah harus latihan,” ujar Deedee. Siklus hidup yang teratur seperti itu, kata Mathilda,  membuat mereka tidak gampang jatuh sakit.

Dukungan keluarga juga menguatkan langkah mereka untuk berkelana di pegunungan bersalju yang semakin dingin oleh hembusan angin kencang itu. Orang tua mereka berdoa setiap hari untuk keselamatan anak-anaknya. Mereka juga selalu mengantar dan menjemput di bandara. "Bawain makanan setiap pulang dari gunung, cerita soal anaknya kemana-mana. Tapi tetap selalu mengingatkan kuliah juga," kata Mathilda.

Meskipun makanan dijamin oleh agen perjalanan, Deedee dan Mathilda selalu membawa kuliner kesukaan mereka. "Daging asap dan mi instan, top banget," ujar Deedee. Mereka pun membawa sambal, susu jahe, dan ramuan tolak angin agar tak sakit. "Terbukti manjur buat kami," kata Mathilda.
Mathilda Dwi Lestari (kiri) dan Fransisca Dimitri Inkiriwang dari tim WISSEMU di sekretariat Mahitala, Bandung. TEMPO/Prima Mulia.

Selama ini, mereka bisa melahap makanan apa pun yang disediakan agen perjalanan maupun porter yang memasak. Kebutuhan makanan mereka sekitar 5.000 kalori per hari dengan dua kali makan. "Guide juga senang karena makan kami bagus," kata Deedee. Faktor makan pendaki menjadi salah satu pertimbangan pemandu untuk memutuskan layak tidaknya mereka ke puncak, misalnya saat di Gunung Denali, Alaska, Amerika Utara.

Simak: Tokoh 17 Agustus: Nyaris Gagal Mencapai Puncak Denali

Mathilda mengaku, pengalaman mendaki enam dari tujuh gunung Seven Summits membuat dirinya menjadi lebih ikhlas. “Seperti nanti ke Everest, kami ya takut mati,” katanya. Selain tulus menghadapi risiko kematian, Mathilda juga berlatih keras agar bisa kembali pulang ke Tanah Air setelah ekpedisi pamuncak itu.

Selain latihan fisik dan simulasi pendakian ke puncak yang memakan waktu selama 24 jam, mereka akan mengikuti segala arahan dan masukan dari pemandu agar bisa pulang ke Tanah Air dengan selamat.

ANWAR SISWADI

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan

Gerakan Makan Berkah Bantu Pasien Covid-19 yang Harus Isoman di Tangsel

14 Agustus 2021

Relawan Gerakan Makan Berkah saat membagikan makanan siap saji kepada masyarakat yang sedang isolasi mandiri diwilayah Ciputat Timur, Sabtu 14 Agustus 2021. Tempo/Muhammad Kurnianto
Gerakan Makan Berkah Bantu Pasien Covid-19 yang Harus Isoman di Tangsel

gerakan Makkah sudah memiliki empat dapur di Tangerang Selatan untuk membagikan makanan gratis setiap hari bagi pasien Covid-19 yang sedang isoman.


Usai Upacara, Sri Mulyani Ikut Flash Mob dengan Pegawai Kemenkeu

17 Agustus 2019

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati selepas menjadi Pembina Upacara Hari Kemerdekaan RI ke-74 di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Sabtu, 17 Agustus 2019. Tempo/Caesar Akbar
Usai Upacara, Sri Mulyani Ikut Flash Mob dengan Pegawai Kemenkeu

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ikut menari dalam flash mob yang diinisiasi oleh sejumlah pegawai Kementerian Keuangan.


Tokoh 17 Agustus: Kantong Pekerja Lepas Ryan Gondokusumo

21 Agustus 2017

Pendiri Sribulancer, Ryan Gondokusumo, saat ditemui Tempo di kantornya, kawasan Gandaria, Jakarta, 9 Agustus 2017. TEMPO/Nurdiansah
Tokoh 17 Agustus: Kantong Pekerja Lepas Ryan Gondokusumo

Ryan Gondokusumo berhasil mengembangkan situs penyedia jasa desain menjadi platform yang mewadahi ribuan pekerja lepas dalam waktu tiga tahun.


Tokoh 17 Agustus: Prasetyo Andy Mewujudkan Konsep Smart City

21 Agustus 2017

Head of IT Development Jakarta Smart City Prasetyo Andy Wicaksono. TEMPO/Imam Sukamto
Tokoh 17 Agustus: Prasetyo Andy Mewujudkan Konsep Smart City

Prasetyo Andy Wicaksono menerapkan aplikasi digital Qlue Jakarta Smart City untuk memecahkan masalah perkotaan.


Tokoh 17 Agustus: Firdaus Putra Aditama dan Koperasi Modern

20 Agustus 2017

Firdaus Putra Aditama. dok. pribadi
Tokoh 17 Agustus: Firdaus Putra Aditama dan Koperasi Modern

Tokoh 17 Agustus Koran Tempo salah satunya adalah Firdaus Putra Aditama, 32 tahun.


Tokoh 17 Agustus: Sulfahri, Kepincut Listrik Alga

20 Agustus 2017

Dokter Universitas Hasanuddin, Sulfahri (28) saat berada di antara  Ganggang (Alga) untuk bahan penilitian Alga menjadi Biotethanol dan biodisel di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, 14 Agustus 2017. TEMPO/Iqbal Lubis
Tokoh 17 Agustus: Sulfahri, Kepincut Listrik Alga

Sulfahri, 28 tahun, terpilih menjadi tokoh 17 Agustus Koran Tempo.


Tokoh 17 Agustus: Ricky Elson, Setrum Murah untuk Rakyat

20 Agustus 2017

Ilmuwan Ricky Elson. TEMPO/Dhemas Reviyanto
Tokoh 17 Agustus: Ricky Elson, Setrum Murah untuk Rakyat

Ricky Elson, adalah salah satu tokoh edisi khusus Tempo Hari
Kemerdekaan 17 Agustus 2017.


Tokoh 17 Agustus, Mizan Bustanul Pembuat Kurikulum Anti Bencana

20 Agustus 2017

Mizan Bustanul Fuady Bisri, saat survey pasca gempa Nepal 2015 di di Gorkha, Nepal, 25 April 2017. dok. pribadi
Tokoh 17 Agustus, Mizan Bustanul Pembuat Kurikulum Anti Bencana

Dalam memperingati hari proklamasi 17 Agustus, redaksi Tempo
menampilkan tokoh edisi khusus. Salah satunya adalah Mizan
Bustranul Fuady Bisri.


Tokoh 17 Agustus: Ratih Pangestuti, Mengail Obat dari Lautan

19 Agustus 2017

Ratih Pangestuti di laboratorium Pusat Penelitian Oseanografi  LIPI, Jakarta, 14 Agustus 2017. Bioaktif peptida kuda laut mampu menurunkan peradangan pada mikroglia dan menghambat kematian sel saraf cholinergic. TEMPO/ Nita Dian
Tokoh 17 Agustus: Ratih Pangestuti, Mengail Obat dari Lautan

Ratih pangestuti, tokoh 17 Agustus di bidang kesehatan pilihan Koran Tempo, meneliti biota laut untuk mencari bahan baku obat.


Tokoh 17 Agustus: Solusi Gamal Albinsaid Mengatasi Biaya Medis

19 Agustus 2017

Chief Executive Officer (CEO) Indonesia Medika, Gamal Albinsaid, di Jakarta, 22 Maret 2016. TEMPO/Frannoto
Tokoh 17 Agustus: Solusi Gamal Albinsaid Mengatasi Biaya Medis

Melalui asuransi sampah, Gamal Albinsaid, tokoh 17 Agustus pilihan Koran tempo, membantu pelayanan kesehatan sekaligus menjaga kebersihan lingkungan.