TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menilai pemerintah Indonesia masih belum serius mengimplementasikan Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat. Tepat satu dekade deklarasi itu diteken, penerapannya dinilai masih jalan di tempat.
“Dengan tidak mengurangi penghargaan atas upaya dan capaian pemerintah dalam 10 tahun terakhir, kami harus secara terbuka mengakui bahwa pengakuan dan perlindungan hukum bagi masyarakat adat masih jalan di tempat,” kata Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, dalam keterangan tertulis, Rabu 9 Agustus 2017.
Rukka mengatakan Indonesia memiliki kewajiban hukum dan moral untuk menindaklanjuti deklarasi ke dalam hukum dan kebijakan nasional. Mahkamah Konstitusi melalui keputusannya Nomor 35 Tahun 2012 telah menegaskan bahwa hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi hutan negara. Rukka menilai hukum tersebut belum serius dijadikan acuan dari pembentukan hukum dan kebijakan serta program pemerintah.
Menurut dia, pemerintah baru mengembalikan 13 ribu hektare hutan adat kepada masyarakat adat. Di sisi pembentukan hukum, Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat juga sampai saat ini belum dibahas. Begitu pula pembentukan hukum di daerah yang lamban.
"Sementara itu, kriminalisasi terhadap masyarakat adat jalan terus," ujarnya. Dia mencontohkan kasus yang menjerat 14 orang masyarakat adat Seko. Mereka dihukum karena memprotes pembanngunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di wilayah adatnya. Rukka mengatakan pemerintah juga belum menetapkan Satuan Tugas Masyarakat Adat sebagai lembaga trouble shooter.
Rukka mengatakan Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada dasarnya memiliki prasyarat untuk menjadi pemimpin global pada isu pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.
"Pemerintah hanya perlu menjalankan secara konsisten enam agenda Nawacita yang berkaitan dengan masyarakat adat," ujarnya.
VINDRY FLORENTIN