TEMPO.CO, Yogyakarta - Kekhawatiran munculnya stigma negatif bahwa pemerintah desa tidak mampu mengelola dana desa sehingga berpotensi menjadi sumber korupsi baru dirasakan menguat setelah operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap sejumlah pejabat di Kabupaten Pamekasan pada 2 Agustus 2017.
Mereka adalah Bupati Pamekasan Achmad Syafii, Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan Rudy Indra Prasetya, Inspektur Inspektorat Pamekasan Sutjipto Utomo, juga Kepala Desa Dasok Agus Mulyadi. OTT itu diduga berkaitan dengan suap atas dugaan penghentian penyidikan kasus korupsi dana desa Dasok.
Baca:
KPK Geledah Ruang Kerja Bupati Pamekasan
Teten Masduki Minta Warga Ikut Awasi Penyaluran Dana Desa
Anggota Satuan Tugas Dana Desa, Arie Sudjito, pun mengakui, kekhawatiran itu sudah muncul sejak awal penyusunan Undang-Undang Desa. Kasus-kasus penyalahgunaan dana desa oleh kepala desa atau perangkat desa pun terbukti ada.
“Mari bergandeng tangan mengatasi korupsi dan menghukum koruptor dengan bela desa dan didik desa,” kata Arie dalam konferensi pers yang digelar LSM Institute for Research and Empowerment (IRE) di Warung Soto Kudus Yogyakarta, Ahad siang, 6 Agustus 2017.
Didik desa artinya mendidik kepala desa dan perangkatnya untuk tetap berintegritas dan menjauhkan mereka dari demoralisasi saat menjalankan tugasnya, terutama dalam pengelolaan dana desa. Bela desa artinya membela desa dari ketidakberdayaan, kemiskinan, juga ketidakmampuan sumber daya yang selama ini dialami.
“Jadi spiritnya bukan mencurigai,” kata pria yang juga sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.
Peran bela desa dan didik desa, menurut Arie, melibatkan pemerintah kabupaten, pendamping, dan masyarakat desa. “Pemerintah kabupaten jangan sekadar mengolok-olok. Desa butuh dibantu,” ucapnya.
Selain itu, dibutuhkan partisipasi publik desa guna mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan, terutama pengelolaan dana desa. Seperti keterlibatan masyarakat dalam musyawarah desa.
“Dana desa itu konsekuensi negara mengakui keberadaan desa,” kata Arie.
Simak pula: Pesan Presiden Jokowi agar Dana Desa Tak Dikorupsi
Menurut Kepala Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Wahyudi Anggoro Hadi, kultur birokrasi pemerintah desa sering dikonotasikan buruk. Sebab, sejak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, negara tidak pernah mengurusi desa.
Selain itu, keberadaan desa mulai mendapatkan perhatian dan kewenangan mengurusi desanya sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. “Perlu waktu untuk menyesuaikan kultur baru ini. Ada desa yang cepat belajar, ada yang perlu proses lama,” kata Wahyudi.
PITO AGUSTIN RUDIANA