TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fahri Hamzah menyindir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melakukan operasi tangkap tangan (OTT) kepada sejumlah pejabat di Pamekasan, Jawa Timur. Fahri menyamakan OTT KPK ini seperti program ABRI Masuk Desa dengan menyebutnya sebagai OTT KPK Masuk Desa.
“Itu namanya KPK Masuk Desa. Dulu ABRI Masuk Desa, sekarang KPK Masuk Desa,” kata Fahri Hamzah di rumah Idrus Marham, di Cibubur, Jakarta, Ahad, 6 Agustus 2017.
Baca juga: Fahri Hamzah Sarankan Pemerintah Membubarkan KPK dan Komnas HAM
KPK menetapkan lima tersangka kasus dugaan suap dalam OTT pada kasus dana desa di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, Rabu, 2 Agustus 2017. Salah satu tersangkanya adalah Bupati Achmad Syafii. Adapun tersangka lain adalah Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan Rudi Indra Prasetya, Kepala Inspektorat Pamekasan, Sucipto Utomo, dan Kepala Desa Dasuk Agus Mulyadi.
Fahri menilai supervisi penanganan kasus korupsi di daerah dengan melakukan penangkapan bukanlah tugas KPK. “Supervisi tidak perlu menangkap, supervisi kasih ke petugas lain,” ujarnya. Fahri juga mempertanyakan kemampuan KPK dalam melakukan pengawasan sekitar 37 ribu desa di seluruh Indonesia.
Fahri Hamzah mengatakan kerugian negara dari OTT di Pamekasan tak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan KPK untuk menangani kasus tersebut. Ia meminta KPK berfokus menangani kasus besar yang dianggap mangkrak, seperti dugaan korupsi Rumah Sakit Sumber Waras dan proyek reklamasi.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarief mengatakan kasus OTT di Pamekasan agak unik karena nilai proyek lebih kecil dari uang suap yang diberikan. Para pejabat Kabupaten Pamekasan diduga menyuap Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan Rp 250 juta. Suap tersebut diduga untuk menghentikan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan Kejaksaan Negeri dalam perkara tindak pidana korupsi proyek infrastruktur senilai Rp 100 juta yang menggunakan dana desa.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Hifdzil Alim, mengatakan KPK dibentuk untuk memperkuat negara dalam menghilangkan, setidaknya mengurangi, korupsi. Keberadaan KPK pun sangat dibutuhkan karena kasus korupsi masih terjadi di semua lini dan semua lembaga, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, yang merupakan lembaga penegak hukum.
Dari data statistik yang disampaikan KPK pada akhir 2016, total penyelidikan yang ditangani sejak awal lembaga antirasuah itu berdiri mencapai 833. Dari total itu, 549 masuk tahap penyidikan, 459 penuntutan, 378 inkrah, dan 400 sudah dieksekusi. Skor pemberantasan korupsi di KPK pada 2016 adalah 36, naik 2 poin dibanding 2015. Selama 2016, KPK menyelamatkan uang negara Rp 497,6 miliar yang telah dimasukkan ke kas negara dalam bentuk penerimaan negara bukan pajak dari penanganan perkara tindak pidana korupsi.
ARKHELAUS W. | MAYA AYU PUSPITASARI