TEMPO.CO, Jakarta - Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Effendi Mukhtar menolak seluruh permohonan praperadilan yang diajukan oleh tersangka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Temenggung. “Kami telah meneliti dan membaca surat-surat bukti tentang duduk perkaranya,” kata dia di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu, 2 Agustus 2017.
Effendi menuturkan dari pihak pemohon Syafruddin, ada sekitar 40 bukti yang disampaikan. Sedangkan dari pihak termohon yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pihaknya menerima 121 bukti. Ia mengaku selesai merumuskan putusan baru siang hari ini.
Baca juga: Kasus BLBI, KPK Tetapkan Syafruddin Tumenggung Tersangka
Effendi beralasan dalil-dalil permohonan yang disampaikan Syafruddin kabur atau kontradiktif. Ia menuturkan, Syafruddin mengajukan permohonan karena lembaga antirasuah itu tidak bisa mengusut perkara yang pernah diusut Kejaksaan Agung. Selain itu KPK tidak bisa menjadikannya tersangka karena tidak memiliki bukti cukup. Termasuk mengajukan praperadilan untuk memperbaiki harkat dan martabat Syafruddin.
Namun Effendi menyatakan permohonan yang diajukan Syafruddin sudah masuk pada pokok materi pidana. Semantara praperadilan hanya memutuskan sah dan tidaknya penyelidikan, penyidikan, dan penetapan tersangka. Sehingga itu relevan dan harus ditolak. “Ditolak karena tidak beralasan dan berdasarkan hukum,” kata dia.
Syafruddin adalah Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) periode 2002-2004. Pada perkara BLBI, Syafruddin diduga menerbitkan surat keterangan lunas (SKL) terhadap pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia Sjamsul Nursalim. Padahal dari hasil restrukturisasi, BDNI baru membayar Rp 1,1 triliun dari utang Rp 4,8 triliun. Sehingga ada kerugian Rp 3,7 triliun yang tak dibayarkan kepada negara.
Kasus BLBI ini bermula ketika Syafruddin memimpin BPPN pada April 2002. Saat itu, BPPN sedang menagih utang sejumlah bank penerima BLBI di era krisis keuangan 1997–1998. Khusus terhadap utang BDNI, tim BPPN telah memutuskan agar menyeret Sjamsul ke jalur litigasi. Sebab, nilai aset yang diserahkan Syamsul lebih rendah Rp 4,75 triliun dibanding sisa utang Rp 27,4 triliun.
Dua bulan setelah menjabat, Syafruddin mengusulkan kepada Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) untuk mengubah penyelesaian kewajiban obligor dari litigasi menjadi restrukturisasi. Usul pun disetujui, yang belakangan hasilnya hanya menambah pembayaran Rp 1,1 triliun dalam bentuk tagihan ke sejumlah petani tambak Dipasena Lampung yang berutang ke BDNI.
Baca juga: KPK Yakin Menang
Syafruddin dituding mengabaikan rekomendasi tim Badan Penyehatan Perbankan Nasional agar menyeret pemilik PT Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim, ke pengadilan. Syafruddin diduga memaksakan penerbitan keterangan lunas untuk Sjamsul meski piutang negara masih tersisa Rp 3,7 triliun. Atas dugaan itu, KPK pun menetapkan dia sebagai tersangka.
KPK sebelumnya telah meyakini akan menang dalam praperadilan melawan Syafruddin Temenggung. Juru bicara KPK Febri Diansyah kemarin menilai apabila dilihat dari substansi dan aspek maka praperadilan yang diajukan Syafruddin akan ditolak.
DANANG FIRMANTO