TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menanggapi keberatan Miryam S. Haryani, terdakwa pemberi kesaksian palsu dalam perkara korupsi e-KTP. Mantan anggota Komisi II DPR periode 2009-2014 itu keberatan dengan dakwaan yang disusun jaksa terhadapnya.
Jaksa Kresno Anto Wibowo mengatakan keberatan yang diajukan Miryam S. Haryani tidak berdasar. Bahkan cenderung mengada-ada dan tak jelas alasannya. "Alasan eksepsi ini sudah sepatutnya ditolak karena tidak sesuai dengan kaidah hukum dan praktek peradilan," katanya di hadapan majelis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin, 31 Juli 2017.
Baca juga:
Pengacara Miryam Sebut Jaksa KPK Tak Berhak Tuntut Kliennya
Pada sidang sebelumnya, Miryam, melalui penasihat hukumnya, menyatakan keberatan atas dakwaan karena memandang perkara pemberian keterangan palsu bukan kewenangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, melainkan kewenangan peradilan umum. Sebab, Pasal 22 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang didakwakan kepada Miryam tercantum dalam Bab III Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tentang pidana lain.
Menurut jaksa, alasan itu hanya tafsiran sepihak dari tim kuasa hukum Miryam. Tidak ada satu pun ketentuan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan Pasal 22 yang terdapat pada Bab III Undang-Undang Tipikor merupakan tindak pidana umum yang prosesnya harus melalui kompetensi peradilan umum.
Baca pula:
Sidang Eksepsi, Kenapa Miryam Optimistis Pembelaannya Diterima?
Justru, kata Kresno, dengan dimasukkannya beberapa perbuatan yang merupakan tindak pidana terkait dengan tindak pidana korupsi ke Bab II Undang-Undang Tipikor, proses penegakannya mengikuti ketentuan Undang-Undang Tipikor dan menjadi kompetensi dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Selanjutnya, Miryam juga keberatan karena perkara pokok yang menjadikannya terdakwa, yakni korupsi e-KTP, belum berkekuatan hukum tetap. Sehingga jaksa tidak berwenang memproses Miryam sebagai terdakwa pemberi keterangan palsu.
Kresno mengatakan proses hukum Miryam tak perlu menunggu hingga putusan perkara pokoknya berkekuatan hukum tetap. Sebab, Undang-Undang Tipikor tidak mengatur secara imperatif sehingga praktik peradilan terhadap hal ini sepenuhnya menjadi kewenangan dari penuntut umum.
"Sepanjang alat bukti cukup dalam penyidikan dan berkas perkara telah dinyatakan lengkap oleh penuntut umum, perkara dapat dilimpahkan untuk diperiksa, diadili, dan diputus oleh hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi," ujar Kresno.
Terakhir, penasihat Miryam S. Haryani mengatakan surat dakwaan yang disusun penuntut umum telah menyimpang. Selain tak menguraikan peristiwa secara rinci, dakwaan dianggap gugur karena menambahkan Pasal 64 ayat 1 KUHP alih-alih hanya Pasal 22.
"Alasan tersebut tidak tepat dan mengada-ada karena surat dakwaan yang dibuat kami sama sekali tidak menyimpang dari berkas perkara sesuai dengan hasil penyidikan," kata Kresno.
Mengenai penambahan Pasal 64 ayat 1 KUHP, Kresno menjelaskan, pasal itu tidaklah membatalkan surat dakwaan karena pasal tersebut bukan ketentuan yang mengatur tindak pidana delik tersendiri. Namun hanya pemberatan secara umum.
MAYA AYU PUSPITASARI