TEMPO.CO, Banyuwangi--Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menghambat penyelidikan tragedi pembantaian dukun santet pada 1998-1999. Dampaknya, Komnas HAM kesulitan mengakses dokumen penting yang berkaitan dengan peristiwa itu.
Wakil Ketua Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron mengatakan, salah satu dokumen yang tidak diberikan adalah radiogram dari Bupati Banyuwangi saat itu, Purnomo Sidik, saat tragedi berdarah pembunuhan berantai terhadap dukun santet sedang terjadi. Radiogram itu cukup penting karena berisi nama-nama orang yang diduga dukun santet dan akhirnya menjadi sasaran pembantaian.
Radiogram tersebut dikirimkan oleh Bupati Purnomo Sidik kepada camat dan kepala desa. Komnas HAM telah bertemu mantan asisten Purnomo Sidik yang membenarkan terbitnya radiogram itu dan disimpan sebagai arsip Pemkab Banyuwangi. "Tapi sampai hari ini Pemkab Banyuwangi belum memberikan radiogram tersebut kepada kami," kata Nurkhoiron di Banyuwangi, Kamis 27 Juli 2017.
Baca: Tragedi Dukun Santet Banyuwangi Mesti Diusut Lagi
Selain radiogram, Pemerintah Banyuwangi juga menolak menginventarisasi jumlah korban dalam tragedi itu sesuai permintaan Komnas HAM sejak 2010. Termasuk juga menolak memberikan program pemulihan trauma dan bantuan sosial terhadap keluarga korban. Padahal, banyak keluarga korban yang saat ini masih trauma dan terkucil dari masyarakat karena stigma buruk sebagai keluarga dukun santet.
Bahkan, penolakan untuk mendukung penyelidikan tragedi dukun santet disampaikan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas saat ditemui Komnas HAM pada 2015. "Bupai Banyuwangi menolak bekerja sama bahkan terkesan menghalangi penyelidikan kasus ini," kata Nurkhoiron, yang juga kordinator tim penyelidikan tragedi dukun santet.
Komnas HAM datang ke Banyuwangi untuk menyelesaikan penyelidikan tragedi pembantaian dukun santet yang telah dimulai sejak 2015. Nurkhoiron bersama enam stafnya datang ke Polres Banyuwangi untuk meminta dokumen visum korban. Setelah itu, mereka ke Pengadilan Negeri untuk mengambil 50 salinan putusan terhadap terpidana pelaku pembantaian.
Simak: Komnas HAM Telusuri Kasus 'Dukun Santet' 1998
Selain di Banyuwangi, penyelidikan juga dilakukan ke Jember, Jawa Timur dan Pangandaran, Jawa Barat. Komnas HAM telah bertemu dengan puluhan saksi korban, pelaku, aparatur negara, kepolisian dan pengadilan. Hasil penyelidikan sementara, Komnas HAM memasukkan kasus ini sebagai pelanggaran HAM berat karena dilakukan dengan sistematis serta meluas ke sekitar lima daerah.
Ada sekitar 200 korban yang dibantai dan dibunuh secara keji.
Menurut Nurkhoiron, Banyuwangi cukup penting karena korbannya paling banyak namun jumlah pastinya masih simpang siur. Versi Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur, jumlah korban di Banyuwangi mencapai 109 orang. Sedangkan menurut Pengurus Cabang NU Banyuwangi sebanyak 120 orang.
Para pelaku tak hanya menyasar mereka yang diduga sebagai dukun santet tapi juga meluas ke guru ngaji dan ulama kampung. Pelaku pembantaian telah diproses hukum, namun belum terkuak dalang utama di balik pembantaian ini.
Lihat: Komnas HAM: Kasus Pembantaian Dukun Santet Diabaikan
Rencananya, penyelidikan ditargetkan rampung pada September 2017 dan hasilnya akan diberikan ke Kejaksaan Agung.
Asisten Pemerintahan Pemkab Banyuwangi, Chairul Ustadi, membantah bila daerahnya tak mendukung Komnas HAM.
Menurut dia, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi tak memiliki radiogram era Purnomo Sidik itu karena bukan jenis arsip resmi yang harus disimpan. "Bukan karena kami tak kooperatif, tapi karena tidak pernah tahu dimana radiogram itu disimpan," katanya kepada wartawan.
Menurut Ustadi, tragedi tersebut telah diselesaikan pada masa pemerintahan saat itu, termasuk pemulihan trauma pada keluarga korban. Meski begitu, pemkab berkomitmen untuk mendukung Komnas HAM untuk menyelidiki kembali kasus tersebut. "Kami welcome dan support," katanya.
IKA NINGTYAS