TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi menjadwalkan pemeriksaan 4 saksi untuk tersangka Setya Novanto dalam penyidikan kasus e-KTP (kartu tanda penduduk elektronik) tahun 2011-2012 di Kementerian Dalam Negeri.
"Empat orang itu diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Setya Novanto (SN)," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Kamis, 27 Juli 2017.
Baca juga: Kasus E-KTP, KPK Periksa Adik Andi Narogong untuk Setya Novanto
Empat saksi yang direncanakan diperiksa itu adalah tiga orang dari pihak swasta, yaitu Andhika Mohammad Yudhistira Monoarfa, Frans Hartono Arief, dan Rabin Iman Soetejo. Sedangkan satu saksi lainnya adalah ahli pengadaan barang atau jasa Harmawan Kaeni.
Andhika Mohammad Yudhistira Monoarfa merupakan putra dari Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Suharso Monoarfa. Saat ini, Andhika menjabat Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Baseball dan Softball Seluruh Indonesia (PB Perbasasi).
Febri menyatakan bahwa KPK saat ini sedang mendalami bagaimana proses pembahasan yang terjadi sebelum penganggaran proyek e-KTP dalam penyidikan untuk tersangka Setya Novanto.
Simak pula: Terkait E-KTP, Keponakan Setya Novanto Dicegah ke Luar Negeri
"Termasuk juga indikasi aliran dana untuk mengurus proses penganggaran tersebut. Di fakta persidangan sudah muncul dan kita bisa simak bersama-sama bahwa ada beberapa pemberian yang terjadi dan ada beberapa aliran dana yang terjadi dari berbagai sumber itu, tentu kami klarifikasi satu persatu," tuturnya.
Dalam persidangan perkara e-KTP, Febri juga menyatakan dua terdakwa yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri Sugiharto juga mengakui sejumlah penerimaan dan pemberian terkait aliran dana proyek e-KTP tersebut.
Pada Senin, 17 Juli 2017, KPK telah menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus e-KTP. Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar itu diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena kedudukannya atau jabatannya sehingga diduga mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp 2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp 5,9 triliun.
ANTARA