TEMPO.CO, Semarang - Pelaku industri di Kabupaten Demak mengeluhkan minimnya pasokan air bersih yang selama ini menjadi kebutuhan penting untuk produksi dan kebutuhan pekerja. Krisis air bersih saat ini belum terpecahkan di tengah sikap pemerintah Demak yang memberi kemudahan dalam pelayanan birokrasi, perizinan usaha, dan akses infrastruktur.
“Yang kami keluhkan sekarang minimnya kebutuhan air bersih,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Kabupaten Demak Muhammadi Ilyas, Minggu, 23 Juli 2017.
Ilyas menyebutkan sejumlah kawasan industri di Sayung, Karang Tengah, dan Mranggen diakui sebagai zona merah atau daerah kritis yang mengalami penurunan tanah.
“Kondisi itu menyebabkan pengunaan air bawah tanah dibatasi, kami tak bisa menyedot begitu saja sehingga tak mencukupi kebutuhan,” kata Ilyas menjelaskan.
Menurut dia, selama ini izin penggunaan air bawah tanah oleh Dinas Energi dan Sumber Daya Air Mineral Jawa Tengah sangat ketat. Pengajuan pengunaan yang diukur per meter kubik hanya disetujui separuh atau seperempat dari kebutuhan total.
Kondisi itu sangat menyulitkan para pengusaha karena pemerintah Demak melalui perusahaan air minumnya tak memberikan solusi air bersih sebagai pengganti saat pemerintah Jawa Tengah membatasi pengunaan air bawah tanah di kawasan tersebut.
Padahal, Ilyas mengaku di daerah berdirinya pabrik dalam wilayah Demak, seperti Sayung, Karang Tengah, dan Mranggen, sangat memerlukan air sebagai salah satu penopang untuk pewarnaan industri garmen dan industri manufaktur lain, selain kebutuhan mandi, cuci, dan kakus bagi pekerja yang jumlahnya tak sedikit.
“Satu perusahaan 6.000 hingga 10 ribu pekerja memerlukan air. Jika krisis listrik bisa kami tangani dengan genset. Krisis air merepotkan karena alat penyuling harganya mahal dan air yang dihasilkan sangat minim,” katanya.
Pakar hidrologi dari Universitas Diponegoro, Semarang, Nelwan, menyebutkan upaya pemerintah mengurangi penggunaan air bawah tanah di kawasan pantai utara Semarang dan Demak justru untuk mengurangi penurunan tanah di kawasan tersebut.
“Karena kawasan yang sekarang banyak didirikan industri dikhawatirkan mempercepat penurunan tanah pesisir Semarang-Demak,” kata Nelwan.
Menurut dia, lahan tambak dan pantai yang kini menjadi incaran proyek industrialisasi tidak diimbangi dengan sikap wawasan lingkungan. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan kawasan tersebut semakin tenggelam.
Kawasan pantai utara Semarang-Demak itu merupakan delta muda yang kontur tanahnya belum matang dan mengandalkan penopangan air bawah tanah untuk keseimbangan.
“Jika air bawah tanah disedot terus lama-lama pesisir Demak dan Semarang bisa tenggelam,” katanya.
Nelawan mencontohkan, fenomena rob yang saat ini terjadi di kawasan tersebut sebagai bukti tanah di pantai utara Semarang dan Demak, termasuk kawasan Sayung sudah mulai turun.
EDI FAISOL