TEMPO.CO, Jakarta - Anggota DPR dari Fraksi Golkar, Markus Nari, 54 tahun, telah ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka kelima dalam kasus korupsi e-KTP. Saat menjadi anggota Komisi II periode 2009-2014, Markus diduga memuluskan pembahasan dan penganggaran proyek senilai Rp 5,9 triliun itu.
Markus Nari tercatat sebagai anggota DPR sejak 2009. Saat pertama kali duduk di Senayan, pria asal Makassar, Sulawesi Selatan, itu menjadi anggota Komisi IV hingga 2014. Pada periode 2014-2019, Markus menjadi anggota Komisi V, tapi sejak Januari 2016 ia dimutasi ke Komisi II.
Baca juga: Korupsi E-KTP, KPK Tetapkan Markus Nari Jadi Tersangka Kelima
Sejak menjabat anggota DPR RI, Markus Nari tercatat menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke Komisi Pemberantasan Korupsi sebanyak tiga kali, yakni pada 30 Desember 2009, 9 Juni 2014, dan 17 Maret 2016.
Pada 2014 total harta Markus adalah Rp 16,693 miliar. Sedangkan pada 2016 hartanya mencapai Rp 19,828 miliar.
Aset yang dilaporkan Markus kepada KPK antara lain 17 tanah dan bangunan yang berada di Kota Makassar, Kabupaten Poso, Kabupaten Morowali, Jakarta Selatan, dan Kabupaten Sleman senilai Rp 15,996 miliar; hasil pertanian dan perkebunan senilai Rp 70 juta; logam mulia, batu mulia, serta barang-barang seni dan antik senilai Rp 954 juta; dan giro senilai Rp 520 juta dan US$ 62.700.
Simak pula: KPK: Politikus Golkar Markus Nari Tersangka Terkait Kasus E-KTP
Selain itu, Markus memiliki tiga mobil dan sepeda motor dengan total nilai Rp 2,087 miliar. Antara lain dua mobil Toyota Alphard masing-masing senilai Rp 700 juta dan Rp 875 juta, mobil Honda Accord senilai Rp 500 juta, serta sepeda motor Honda senilai Rp 12 juta.
Markus melaporkan tidak memiliki utang. Ia malah tercatat memiliki piutang dalam bentuk pinjaman barang senilai Rp 200 juta.
Penetapan Markus sebagai tersangka korupsi e-KTP diumumkan pada Rabu, 19 Juli 2017. Sebelumnya, pada 2 Juni 2017, KPK telah menetapkan dia sebagai tersangka menghalang-halangi penyidikan perkara e-KTP karena diduga menekan saksi lain untuk memberi keterangan tidak benar.
MAYA AYU PUSPITASARI