TEMPO.CO, Jakarta - Praktisi media sosial, Nukman Luthfie, mengatakan pemblokiran media sosial Telegram berbasis web sudah tepat sebagai peringatan bagi perusahaan untuk mematuhi aturan di Indonesia. Namun, untuk menghentikan terorisme, Nukman menilai upaya pemerintah masih belum cukup.
Nukman mengatakan pemblokiran terbatas Telegram tidak banyak berpengaruh. Sebab, aplikasi Telegram masih bisa diakses di telepon genggam. Belum lagi masih banyak media lain yang menjamin privasi pengguna seperti Telegram. "Teroris itu kalau tahu Telegram diblokir, dia akan cari dan pindah ke media lain," kata Nukman saat dihubungi, Senin, 17 Juli 2017.
Simak: Kapolri Tito Kantongi Kelompok Teroris Pengguna Telegram
Nukman memahami upaya pemerintah untuk memberikan lampu kuning bagi Telegram. Perusahaan tersebut tidak menanggapi permintaan Indonesia untuk menangani konten radikalisme dan terorisme yang dikirim melalui surat elektronik pada Maret 2016. Nukman menyatakan dukungannya atas upaya negosiasi pemerintah agar Telegram mau bekerja sama.
Namun, di sisi lain, Nukman menilai pemerintah harus meningkatkan edukasi. Masyarakat perlu dibekali pengetahuan agar semakin pintar dan tidak gampang terbujuk konten provokatif.
Baca: 3 Serangan Teror Ini Diperintahkan Bachrun Naim Lewat Telegram
Selain itu, penegakan hukum penting untuk menghentikan terorisme. "Kalau ada teroris, ya kejar terorisnya," kata Nukman.
Nukman mengatakan pemerintah juga bisa menerapkan skema denda bagi media yang tidak mematuhi peraturan. Dia mengatakan skema tersebut membutuhkan undang-undang sebagai dasar hukum.
Dalam kasus Telegram, pemerintah tak perlu menutup akses suatu media. Nukman mengatakan media sosial banyak juga dimanfaatkan oleh orang untuk menyampaikan informasi yang berguna hingga untuk berbisnis. Pemblokiran permanen sebuah media bisa merugikan masyarakat. "Jadi tidak memburu tikus dengan membakar ladangnya," katanya.
VINDRY FLORENTIN