TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Sugeng Teguh Santoso mengusulkan Perpu Ormas yang nama lengkapnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan menyentuh keberadaan ormas Front Pembela Islam (FPI).
"Usul saya (salah satu ormas) yang dibubarkan FPI. Karena organisasi itu sudah banyak mempersekusi kelompok-kelompok minoritas," ujar Sugeng dalam diskusi di Jakarta, Jumat, 14 Juli 2017. FPI dikenal sebagai ormas yang kerap turun ke jalan. Ormas yang dipimpin Rizieq Syihab ini juga diidentikkan dengan kekerasan, karena gemar melakukan razia di tempat hiburan.
Baca: Haris Azhar: Secara Hukum Perpu Ormas Ini Ngawur
Sugeng mendukung penerbitan Perpu Ormas sepanjang tidak digunakan kelompok intoleran untuk menekan pemerintah guna mendiskreditkan kelompok minoritas. "Jangan sampai pemerintah didesak kelompok intoleran untuk menekan kelompok minoritas. Padahal, kelompok intoleran itu sendiri yang menistakan agama," kata Sugeng.
Sugeng memandang penerbitan Perpu Ormas sudah memenuhi unsur mendesak, contohnya terkait dengan kebutuhan penyelesaian hukum terhadap kelompok intoleran. Jika menunggu revisi undang-undang lama, penyelesaiannya membutuhkan waktu lama. Adapun kelompok minoritas yang terintimidasi membutuhkan perlindungan secara cepat.
Di tempat terpisah, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM menegaskan menolak Perpu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas. Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai menyebut ada beberapa prinsip yang ditabrak dalam Perpu Ormas.
Baca: Urgensi Perpu Ormas Menurut Menteri Kominfo Rudiantara
"Yaitu dasar dari keluarnya Perpu bahwa negara dalam kondisi darurat yang dinyatakan oleh kepala negara dalam hal ini adalah Presiden. Jadi presiden harus umumkan dulu apakah negara dalam keadaan darurat atau tidak sekarang ini,” ujar Pigai.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau Kontras menegaskan menolak disahkannya Perpu Ormas. Menurut Kepala Pemantauan Impunitas Feri Kusuma, Perpu Ormas membatasi ruang gerak serta menghambat proses demokrasi. “Negara ini kalau tidak dikontrol oleh masyarakat lewat organisasi-organisasi masyarakatnya, akan sangat otoriter.”
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan Perpu Ormas untuk penindakan cepat bagi organisasi yang bertentangan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ini tidak melanggar demokrasi. “Karena masih ada proses pengadilan karena kita negara hukum,” kata dia.
Baca: Pemerintah Berharap 2 Perpu 2017 Segera Menjadi UU
Menurut Rudiantara, dalam aturan lama proses pengadilan membubarkan ormas butuh waktu 5-6 bulan. Ini terlalu lama. Rudiantara mencontohkan kebijakan di Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menutup situs radikal pembuat bom misalnya, tidak perlu birokrasi. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dan Kepala Badan Intelijen Negara, dipersilakan meminta staf Kemenkominfo langsung untuk mengeksekusi.
Perpu Ormas diteken Presiden Joko Widodo pada 10 Juli 2017. Pakar hukum tata negara yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, setuju dengan isi Perpu Ormas tersebut. Namun ia mempertanyakan dasar pengeluaran aturannya. “Negara harus mendeklarasikan keadaan darurat dulu untuk mengeluarkan Perpu," kata Jimly.
Setidaknya, menurut Jimly, ada tiga kondisi negara dalam keadaan darurat, yaitu perang, militer, dan sipil. Perpu Ormas baru bisa memenuhi syarat jika ada deklarasi negara dalam kondisi darurat.
ANTARA | WULAN NOVA | ANWAR SISWADI