INFO NASIONAL - Kekerasan kerap terjadi dalam masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS). Mencegah kejadian serupa terulang di awal tahun pelajaran, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menerbitkan Permendikbud No.18 Tahun 2016 tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS) yang mengatur berbagai aktivitas yang dianjurkan dan yang dilarang.
Salah satu aturannya, sekolah dilarang melibatkan alumni dan siswa senior (kakak kelas), siswa baru wajib menggunakan seragam dan atribut resmi dari sekolah dan juga pelarangan sistem perpeloncoan juga tindakan kekerasan lainnya. Maklum, masa awal tahun pelajaran sering terjadi tindakan peloncoan dan kekerasan kepada siswa baru, meski jumlahnya semakin menyurut.
Baca Juga:
Meski demikian, masa PLS ini juga masih dibayangi pengaduan masyarakat atas pelanggaran dalam penerimaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Menurut Direktorat Jenderal Dikdasmen Hamid Muhammad, sampai hari ini sudah terdata 250 pengaduan terkait penerimaan murid baru, terutama terkait sistem zonasi.
Sistem zona ini tertuang dalam Permendikbud No.17 dan masih terus diberlakukan selama kebijakan ini tidak dicabut. Kenyataan, sistem zonasi ini memberi kesempatan orang tidak mampu untuk masuk sekolah favorit.
Sistem ini memberikan tiga kategori, yaitu 90 persen siswa yang dekat dengan sekolah, dari prosentase ini diberikan 20 persen bagi anak miskin, lalu 5 persen jalur akademik di luar zona atau kasus khusus pindahan, seperti anak guru atau Polri dan TNi yang sering berpindah tugas.
Baca Juga:
"Jika jumlah siswa, usia, nilai, dan prestasi akademik tidak masuk pada sekolah pilihan pertama maka harus diberi solusi di sekolah pilihan ke dua. Sehiggga sistem zonasi ini tidak menutup kemungkinan tidak diterima," ujar Hamid.
Langkah selanjutnya, pihaknya akan melakukan evaluasi bersama seluruh kepala dinas dalam menghasilkan kualitas sekolah yang terbaik agar tidak terjadi penyebaran sekolah unggulan di satu kota tertentu, tapi berdasarkan zona wilayah.
"Ke depannya, tiap zona harus ada sekolah unggulan. Jadi kami melakukan intervensi dalam pembangunan fisik bangunan dan penyebaran guru terbaik. Nantinya, guru terbaik tidak akan berkumpul di satu sekolah tapi kita sebar ke sekolah lain agar terjadi pemerataan," jelas Hamid di Jakarta, Selasa, 11 Juli 2017.
Sementara itu, Inspektorat Jenderal Kemendikbud Daryanto mengatakan, pengaduan yang masuk dikoordinasikan dengan Ombudsmen. Seperti orangtua yang menggunakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) palsu --agar anaknya bisa diterima di sekolah negeri-- jika terbukti salah maka anak tersebut harus dikeluarkan dari sekolah. Ke depannya, SKTM ini merujuk pada Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Kesehatan Sosial.
"Seharusnya hal ini bisa dilakukan di awal karena kami mempertimbangkan juga unsur psikologis. Karena kalau terbukti menggunakan SKTM bodong maka anak ini terkesan dikeluarkan dari sekolah dan itu berdampak buruk bagi sang anak. Ini rentan sekali," ujar Daryanto.
Kasus lainnya, ada anak miskin tapi dia pindah dalam arti menumpang ke rumah tantenya yang mampu lalu diadukan oleh tetangganya. Kalau tidak dilakukan investigasi bahwa anak ini memang betul miskin, dikuatirkan anak ini tidak mendapat kesempatan bersekolah.
"Namun untuk kasus pungutan liar yang terjadi di wilayah Sumatera Selatan, bahwa ada sekolah yang memungut infak jutaan rupiah kepada orangtua murid, kami sudah mengirimkan tim investigasi. Jika terbukti melanggar maka kepala sekolah tersebut bisa dipecat atau dinonaktifkan," ujarnya.
Tentunya, langkah Kemendikbud ini dilakukan agar tidak terjadi diskriminasi dalam pendidikan dan terwujudnya pemerataan pendidikan bagi semua anak.