INFO NASIONAL - Pimpinan Pondok Pesantren Albasyariah, Cijerah, Kota Bandung, Jawa Barat, K.H Sofyan Yahya mentahbiskan gelar baru kepada Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi sebagai "Kamus Berjalan Ki Sunda" atau orang yang mengetahui segala hal ihwal tentang Kesundaan.
"Dulu, kalau bicara soal Kesundaan, rujukannya pasti Ki Dalang Asep Sunandar Sunarya (almarhum). Kalau sekarang, saya kira Dedi Mulyadi. Beliau ini eces (jelas) jika membahas tentang Kesundaan," kata Kiai Sofyan di sela acara silaturahmi dan halal bihalal Forum Guru Ngaji (FGN) Jawa Barat, di Pesantren Al-Basyariah, Sabtu, 8 Juli 2017.
Menurut Sofyan, penyematan gelar sebagai "Kamus Berjalan Ki Sunda" kepada Kang Dedi, sapaan akrabnya, bukan tanpa alasan. Untuk sampai pada keputusan itu, dia harus terlebih dahulu melakukan telaah sebuah buku berjudul "Mengayuh Negeri Dengan Cinta".
Kiai Sofyan kemudian menyimpulkan bahwa buku karangan Kang Dedi tersebut sarat dengan nilai dan konsep kepemimpinan gaya Sunda.
Dari sekian banyak perumpamaan yang diungkapkan dalam buku tersebut, Kiai Sofyan mengaku tertarik dengan konsep Samara Pawon atau Kecap Dapur atau Bumbu Dapur. Konsep tersebut dinilai Kiai Sofyan sebagai konsep kekinian, sebab segala persoalan bangsa diselesaikan di belakang (di dapur) tanpa menimbulkan kegaduhan. "Konsep Samara Pawon merupakan konsep kekinian dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang solusinya cukup dilakukan di dapur atau di belakang. Tidak perlu dibawa ke tempat ramai, sehingga tidak menimbulkan kegaduhan atau keributan," tutur Kiai Sofyan.
Baca Juga:
Pada acara yang dihadiri Ketua MUI Pusat K.H Maruf Amin dan Ketua FGN Pusat K.H Adang Badrudin atau Abah Adang itu, Kang Dedi didaulat menyampaikan pendangannya tentang pesantren. Menurut Kang Dedi, pesantren merupakan sebuah entitas yang mampu mengajarkan kemandirian, sehingga tidak menjadikan para santri berpangku tangan dan menggantungkan hidupnya kepada orang lain.
"Pesantren itu kuat, mengajarkan kemandirian, mandiri pangan, mandiri sandang, mandiri papan. Peternakan, pertanian, dan perkebunan mampu hidup di dunia pesantren. Itulah nilai-nilai pesantren yang harus diterjemahkan menjadi kebijakan oleh para pemimpin," kata Kang Dedi. (*)