TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian menjelaskan, pemerintah telah menyiapkan strategi terkait dengan aksi lone wolf, seperti teror di Mabes Polri, dengan Pancasila. Tito menuturkan kepolisian sudah koordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Selain itu, kepolisian akan berkoordinasi dengan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
"Ideologi hanya bisa kalah dengan ideologi. Karena itu, Pancasila harus diaktifkan kembali," katanya di Markas Besar Polri, Jakarta Selatan, Selasa, 4 Juli 2017.
Aksi lone wolf berasal istilah dari serigala. Serigala biasanya menyerang mangsa secara berombongan, tapi bisa juga sendiri alias lone wolf.
Baca: Teror di Mabes Polri, Mulyadi Diduga Anggota Jaringan JAD
Tito mengatakan ideologi demokrasi harus dimajukan serta ideologi Islam moderat, seperti Nahdlatul Ulama dan Islam Nusantara, harus didukung. "Kemudian, di Muhammadiyah, Islam berkemajuan moderat juga harus kita dukung," ujarnya.
Menurut dia, kalau upaya ini bisa meningkat intensitasnya, ideologi terorisme bisa ditekan. "Ini akan melibatkan banyak stakeholder dan pemerintah," katanya.
Stakeholder itu, kata dia, di antaranya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan Kementerian Pertahanan melalui program bela negara. "Polri pun melalui operasi bina masyarakat, para kapolres (kepala kepolisian resor), dan seterusnya melakukan pembinaan leadership untuk kader bangsa. Kami bisa melakukan kegiatan seperti itu," ucapnya.
Dia menjelaskan, sekarang ada dua fenomena modus terorisme di dunia. Pertama, modus yang menggunakan network atau jaringan. Kedua, modus leaderless jihad atau jihad tanpa pemimpin. Leaderless jihad disebut juga dengan lone wolf.
Baca: Pelaku Teror di Masjid Falatehan Penjual Parfum di Pasar Roxy
"Jihad tanpa pemimpin tidak terkait dengan network, tapi dia membuka website radikal, terinspirasi, ikut internet chatting, kelompok telegram yang radikal, terpengaruh, belajar sendiri cara mengatur serangan, survei sendiri, dan kemudian melakukan serangan yang dia pilih sendiri," katanya.
Dua modus ini, kata dia, cara penanganannya berbeda. Kalau untuk yang terstruktur atau jaringan, maka kekuatan intelijen, baik di kepolisian, Badan Intelijen Negara, maupun TNI, berperan memetakan struktur teroris itu sampai detail. Teroris juga harus diawasi ketika ada rencana ingin berbuat, baru kemudian dilakukan operasi penangkapan.
"Kalau mereka sudah melakukan, kami mencegah, dan kemudian ternyata terjadi serangan, secepatnya bisa kami ungkap. Nah ini yang biasanya terjadi," tuturnya.
REZKI ALVIONITASARI