TEMPO.CO, Jakarta - Perjuangan untuk menyejajarkan kedudukan perempuan berlangsung pula di sejumlah pesantren di Jawa. Di Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor Putri Kampus 1, Desa Sambirejo, Ngawi, Jawa Timur, lebih dari 3.000 santri setingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas diwajibkan mengikuti pelajaran tentang kewanitaan yang diberikan selama 45 menit di dalam kelas setiap pekan. Mata pelajaran itu disebut An-Nisaiyyat. Isinya tentang kesetaraan gender dan emansipasi wanita.
Guru Pesantren Gontor Putri, Asif Trisnani, mengatakan pengajaran An-Nisaiyyat bertujuan supaya para santri perempuan mengerti mereka memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Misalnya, perempuan juga berhak mendapatkan pendidikan tinggi. Sebab, dengan itu, martabat perempuan bisa kian terangkat. "Kami merujuk pada sikap Rasul yang memperlakukan perempuan dengan baik," kata pria 40 tahun itu.
Baca juga:
Pesantren Perempuan (01), Perguruan Diniyyah Putri: Mendata Mimpi
Kendati terus menanamkan nilai-nilai kesetaraan gender, pesantren itu tak ingin santrinya lupa terhadap kodrat sebagai perempuan. Karena itu, pesantren ini juga membekali anak didik dengan pengetahuan tentang tugas perempuan sebagai istri dan ibu. "Kesetaraan gender bagi kami adalah meletakkan semuanya menurut posisi, tugas, dan kewajibannya," ujar Asif.
Atas dasar itu, pondok yang merupakan pengembangan Pesantren Gontor Putra ini mengajarkan sejumlah keterampilan kepada santri perempuan, misalnya memasak, menjahit, dan berdandan. "Tujuannya supaya kodrat perempuan tak tercabut," ucap Asif. Menurut dia, melalui pemberian materi dan keterampilan itu diharapkan muncul perempuan yang tangguh. "Akan tercipta nyai-nyai yang hebat."
Kisah beberapa pesantren putri dan perjuangannya mengajarkan kesetaraan gender, emansipasi, dan keberagaman lebih lengkap dapat dibaca di Majalah Tempo edisi 26 Juni 2017.
Prihandoko, Andri El Faruqi (Padang), Nofika Dian Nugroho (Ngawi), Ivansyah (Cirebon), Eko Widianto (Malang)